Jumat, 12 Oktober 2018

Kasih untuk Ibu


Oleh: Susana Febryanty

            Hidup bagaikan sebuah petualangan yang penuh dengan misteri yang tak terduga. Tiada satu pun yang dapat menduga kejutan-kejutan apa yang ia peroleh. Ada kalanya bahagia itu menghampiri. Namun bisa saja kesedihan itu muncul tanpa diundang.

            Tak ada yang dapat menduga surat takdir kehidupan. Begitupun dengan keluarga besar Kasih. Beberapa hari yang lalu, mereka baru saja mengadakan acara kumpul-kumpul keluarga. Canda tawa menghiasi acara waktu itu. Tapi hari ini kecerian tak tampak lagi, yang ada hanyalah kemuraman yang menghiasi wajah-wajah itu.
            Suara sirene ambulan mengaung dengan keras, membawa rombongan keluarga yang sedang berduka memasuki halaman  sebuah rumah. Tak lama kemudian beberapa orang keluar dari mobil. Rumah besar bergaya Joglo itu tampak ramai oleh orang-orang yang berkumpul di sana. Saat keranda dikeluarkan dari ambulan beberapa orang laki-laki nampak sibuk mengurus jenazah tersebut. Sementara yang lain langsung menghampiri rombongan yang baru saja tiba.
            Kasih, dan kedua anaknya saling berangkulan memasuki rumah. Selama beberapa menit ia menerima ucapan belasungkawa dari tetangga dan kerabatnya. Setelah itu ia pergi  ke sebuah kamar yang terletak tak jauh dari ruang tamu rumah itu. Ia dorong sedikit pintunya. Di kamar itu tampak seorang perempuan tua berusia senja yang duduk di ranjang empuknya. Pandangan matanya tampak kosong.
             Perempuan berambut panjang itu mengetuk pelan pintu kamar lalu tanpa menunggu aba-aba ia pun masuk ke dalam. “ Bu, ” panggilnya. Langsung saja ia menduduki pinggiran ranjang sang ibu. 
            “Oalah, kamu tho. Kapan kamu pulang dari Semarang? Piye kuliahmu, Nduk?”
            Ternyata saat ini di pikiran Ibu aku masih berkuliah. Yang penting Ibu masih ingat kalau aku ini anaknya. Kasih mengambil tangan kanan ibunya lalu menciumnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan tangis. Ia tak mau membebani pikiran ibunya dengan kesedihan yang terjadi.
            Ia paksakan diri untuk tersenyum pada sang ibu sambil berkata, “Ibu sudah makan?”
            “Makan? Tadi ibu makan sama bapak. Tapi sekarang ibu pengen makan bareng kamu. Sejak kamu kuliah di Semarang kita nggak pernah makan bareng lagi.”
            Kasih memandang iba pada sang ibu. Kembali ia menghela napasnya. Pasti ingatan Ibu terganggu lagi. Bagaimana mungkin Ibu makan dengan Bapak, sementara sejak pagi bapak sudah di rumah sakit kerena serangan jantung. Ibu juga masih mengira kalau aku masih kuliah di Semarang. Kasihan sekali ibuku. Entah apa yang dipikirkannya jika ia mengetahui tentang meninggalnya Bapak.
            “Ya, sudah. Kasih ambilkan makanan buat Ibu dulu, ya. Biar kita  bisa makan dan ngobrol-ngobrol lagi,” katanya pada sang ibu. Ibu menganggukkan kepala beberapa kali.
            Ia bangkit  dari tempat tidur lalu berjalan beberapa meter dari  ranjang kayu itu. Kasih mengelus lembut rambut kedua anaknya yang tengah duduk di kursi kayu yang ada di depan pintu kamar. Kemudian ia berkata, “Kalian di sini saja. Jaga Eyang Putrinya ya, Sayang.” Perempuan itu  memang sengaja menjauhkan bocah-bocah tersebut dari neneknya. Ia khawatir sang nenek tak mengenali cucunya dan mulai bertanya mengenai mereka.
            “Iya, Bunda,” jawab kedua bocah itu serempak. Kasih tersenyum pada mereka. Ia bangga dengan anak-anaknya yang sangat pengertian akan kondisi orang tuanya.
            Saat Kasih keluar, beberapa orang telah menunggunya di luar kamar. Mereka adalah Bowo dan Wangi, kedua kakaknya. Di situ ada pula Banyu suaminya. Wajah ketiganya tampak begitu serius. Sepertinya ada hal serius yang ingin mereka bicarakan dengan perempuan itu.
            “Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Mas Bowo sambil mengintip ke dalam kamar.”
           “Ya, begitulah Mas. Pikiran Ibu mulai menurun. Tadi saja aku dikira masih kuliah di Semarang. Mana Ibu bilangnya tadi makan bareng Bapak. Padahal kan, dari pagi Bapak sudah dibawa ke rumah sakit.”
            “Gimana ini Mas? Masa Ibu dibawa ke pemakaman? Nanti malah kenapa-kenapa lagi,” tanya Wangi mendesak Bowo.
            Sesaat mereka pun terdiam. Kemudian Bowo berkata, “Begini saja,  Kasih kamu dan Ibu tinggal di rumah saja, nggak usah ikut pemakaman. Aku khawatir sama keadaan Ibu. Takutnya malah terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan.”
            “Apa nggak sebaiknya Ibu ikut ke pemakaman, Mas? Biar bagaimanapun Ibu itu kan istrinya Bapak. Pastinya beliau ingin melepaskan suaminya untuk terakhir kalinya.”
            “Aku paham maksudmu. Tapi dengan kondisi Ibu yang seperti ini rasanya nggak mungkin Ibu dibawa ke pemakaman. Coba bayangkan bagaimana kalau nanti tiba-tiba histeris di sana. Mana di sana tempatnya nggak nyaman. Malah nanti bikin kondisi Ibu makin ngedrop.”
            “Ya, sudah kalau memang seperti itu keputusannya.” Kasih pasrah dengan semua keputusan kakak-kakaknya itu. Toh, suaranya tak berarti di rumah ini. Ia hanya dianggap anak bawang bagi mereka.
***
            Mentari bersiap memasuki peraduannya kala keluarga itu kembali dari pemakaman. Kasih tersentak saat melihat sang suami sudah berdiri di samping ranjang Ibu. Sedari tadi pikirannya melayang entah kemana. Sementara sang ibu sedang tidur nyenyak bak bayi. Banyu tersenyum hangat pada istri yang dikasihinya itu.
            “Gimana keadaan Ibu?”
            “Seperti kamu lihat, Ibu tidur nyenyak setelah makan tadi.”
            Banyu menyandarkan punggungnya di diding kamar. Matanya menatap ke arah sang ibu mertua. Lalu sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya. “Apa Ibu sudah sadar kalau Bapak sudah nggak ada?”
            “Sepertinya belum, Mas. Malah tadi Ibu bilang kalau Bapak lagi ke kampus untuk mengajar. Entahlah Mas, bagaimana nasib Ibu setelah kepergian Bapak? Apa mungkin kedua kakakku mau mengurus Ibu dengan kondisi ia menderita Alzheimer? Kok, rasanya aku sangsi ya.”
            “Ya, sudah. Nggak usah kita pikirkan. Nanti juga kita tahu bagaimana keputusan mereka. Kita kan cuma bisa menunggu.”
***
            Malam harinya, para tamu mulai meninggalkan rumah keluarga besar Kasih. Bowo mengumpulkan para adik dan iparnya diruang keluarga. Seluruh anggota keluarga, kecuali sang ibu berkumpul di sana. Sebelumnya anak sulung itu memastikan terlebih dulu bahwa sang ibu telah nyenyak dalam tidurnya.
            Bowo memandangi ke seluruh anggota keluarganya sambil menghitung dalam hati. Ia kembali memastikan dengan bertanya, “Sudah lengkap semua kan?” Anggukan kepala Wangi menjadi jawaban yang diinginkan oleh pria itu.
            “Jadi begini, saya mengumpulkan kita semua untuk mendiskusikan masalah nasib Ibu selanjutnya. Seperti yang kita ketahui sekitar setahun yang lalu Ibu divonis menderita Alzheimer oleh dokter. Dengan meninggalnya Bapak, kita harus memikirkan bagaimana nasib Ibu selanjutnya. Kita kan tahu saat Ibu butuh perhatian ekstra. Beliau tidak mungkin ditinggalkan sendirian di rumah ini, ya walaupun memang ada beberapa orang pembantu di sini. Jadi bagaimana pendapat kalian?”
            Untuk beberapa saat semua tampak diam merenungkan pembicaraan Bowo barusan. Hingga tiba-tiba Wangi bersuara, “Kalau aku, jujur saja rasanya nggak mungkin mengurus Ibu. Ya, kalian semua kan tahu aku dan suamiku tinggal bersama mertua. Kami masih harus mengurus kedua mertuaku. Jadi kalau ditambah dengan Ibu, hmm… Rasanya kami nggak sanggup deh.”
            “Bagaimana ini, Mah?” bisik Bowo pada istrinya yang duduk di sampingnya.
            “Kita juga nggak mungkin merawat Ibu. Papa kan baru dipromosikan jadi direktur. Pastinya Papa sibuk terus sama kantor. Aku juga kan kerja, Pah. Jadi Ibu bisa-bisa nggak keurus kalau beliau tinggal bersama kita. Atau Ibu kita masukkan saja ke Panti Jompo. Di sana kan ada banyak suster dan dokter yang bisa merawat dan memperhatikan Ibu dengan baik.”
            Banyu tampak kanget dengan usulan dari istri Bowo barusan. Pria itu keberatan jika mertuanya dimasukkan di dalam Panti Jompo. Kenapa Ibu harus dimasukkan ke dalam Panti Jompo? Padahal beliau masih memiliki anak dan menantu. Tega sekali Iparku ini mengusulkan itu. Apa dia tahu rasa sakit saat dibuang oleh keluarga sendiri? Ya, Tuhan jangan biarkan hal ini menimpa Ibu mertuaku. Cukup aku saja yang merasakan sakitnya terbuang di Panti Asuhan dulu.
            Lalu Bowo mengarahkan pandangannya pada adik bungsunya. Ia bertanya, “Bagaimana dengan kamu, Sih? Sepertinya kamu yang paling bisa merawat Ibu. Kamu bukan orang yang sangat sibuk. Selama ini kan, kesibukan kamu hanya mengurus keluargamu dan membantu Bapak  di pabrik batik milik Ibu. Lagi pula, rasanya pantaslah kalau kamu yang mengurus Ibu saat ini. Hitung-hitung menebus kesalahan kamu pada Ibu di masa lalu.”
            Kasih menatap tajam ke arah kakak tertuanya itu. Ia menggigit keras bibirnya, mencoba menahan kata yang ingin terucap. Matanya mulai tampak berkaca-kaca. Sekuat tenaga ia berusaha menahan tangisnya. Meski batinnya merintih dengan keras.
            Apa maksud Mas Bowo mengungkit kisah masa lalu kami? Kenapa ia masih saja tak bisa menghargai Mas Banyu sebagai suamiku? Bapak saja dari dulu merestui pernikahan kami. Memang dulu Ibu tak menyetujui pernikahan kami, tapi toh kami bisa membuktikan niat baik kami dengan pernikahan ini. Buktinya, lama-lama Ibu juga bisa menerima Mas Banyu sebagai menantunya. Tapi kenapa sekarang Mas Bowo malah mengungkit masala itu lagi?
            Kasih pun bangkit dari duduknya dan segera berdiri. Dengan suara bergetar ia berkata, “Semua keputusan saya serahkan sama Mas Banyu. Saat ini dia adalah imam saya. Apa pun yang dia putuskan akan saya ikuti. Saya mau lihat Ibu dulu di kamar. Permisi.” Perempuan itu pun meninggalkan ruangan keluarga dan bergegas menuju kamar sang ibu.
            “Jadi bagaimana, Banyu?”
            “Saya tidak keberatan jika memang kami harus merawat Ibu.” Suara Banyu terdengar pelan namun tegas. Sepertinya ia telah mantab dengan keputusannya.
            “Bagus kalau begitu. Sebaiknya kalian segera pindah ke rumah ini. Lebih cepat lebih baik. Biar ada yang mengurus Ibu. Untuk biaya perawatan Ibu, nggak usah khawatir. Nanti aku dan Wangi yang akan urunan. Dengan gajimu sebagai guru mana mungkin kalian bisa menanggung biaya perawatan Ibu. Kamu bisa menanggung anak istrimu saja sudah bagus.”
            Banyu hanya  bisa terdiam mendengar perkataan kakak iparnya itu.
Gambar dari: https://hellosehat.com/


***
            Pertemuan keluarga berakhir, Banyu langsung menemui anak istrinya yang tidur di kamar sang mertua. Sang ibu mertua tampak pulas di ranjang kayu. Sedangkan anak-anaknya tidur di kasur yang digelar di lantai tepat  di samping ranjang itu. Kasih masih terjaga. Ia mengawasi tidur malaikat kecilnya itu. Sang suami mendekati istrinya.
            “Pertemuannya sudah selesai tho, Mas? Gimana keputusannya?” Wajah Kasih menyiratkan rasa penasaran yang sangat besar.
            “Ibu, kita yang merawat.”
            “Aku nggak keberatan, Mas. Yang aku pikirkan, bagaimana dengan anak-anak? Apa mereka bisa memahami keadaan eyang putrinya. Mas kan tahu bagaimana kondisi Ibu. Ibu itu kena Alzheimer. Ingatannya mengalami penurunan. Kadang beliau ingat, kadang malah kayak orang bingung. Sudah begitu, kondisi emosinya juga naik turun. Apa anak-anak mampu menerima keadaan eyangnya?”
            Banyu tersenyum pada sang istri. Ia mencoba menenangkan perasaan Kasih. Istrinya itu ia rangkul lalu lembut bahunya  dibelai lembut. Katatanya, “Tenang saja, Bun. Kita punya anak-anak yang pandai. Aku percaya mereka akan mengerti dengan situasi yang kita hadapi nantinya.”
***
            Saat pagi menjelang, suara adzan yang berkumandang membangunkan Banyu dari tidurnya. Dengan segera ia bangunkan anak dan istrinya. Ia selalu membiasakan anak dan istrinya untuk disiplin beribadah. Sesudah yakin mereka semua telah bangun pria itu pun pergi menuju masjid yang ada di dekat rumah mertuanya. Tak lupa Kasih membangunkan sang ibu untuk melakukan ibadah shalat bersama dengannya dan anak-anak di kamar.
            Selesai sholat, tiba-tiba Kirana bertanya, “Bun, tadi kok Eyang wudhunya berulang-ulang gitu? Udah gitu, Eyang juga sempat lupa bacaan doanya. Kenapa bisa begitu, Bun?”
            Kasih sempat bingung menjawab pertanyaan anaknya itu. Matanya mengeliat, keningnya mengerut. Ia mencoba mencari jawaban yang tepat bagi sang anak. Mungkin ini saat yang tepat untuk membicarakan rencana kepindahan kami ke rumah ini, pikir ibu muda itu.
            “Begini, Eyang itu mengalami sakit. Nama penyakitnya Alzheimer. Penyakit itu kebanyakan diderita oleh orang-orang tua seperti Eyang Putri. Biasanya mereka itu sering lupa tentang banyak hal. Tingkahnya juga jadi berubah-berubah. Kadang bisa baik, kadang marah-marah. Bahkan bisa saja tingkahnya agak menjengkelkan.”
            “Oh, begitu ya Bun. Pantas saja, Eyang Putri suka berubah-berubah. Kadang Eyang baik sama aku. Terus, pernah juga Eyang nanya aku ini siapa. Kayak nggak kenal  sama aku gitu, Bun. Kasihan ya, Eyang Putri. Mana sekarang Ayang Kakung sudah nggak ada. Lalu Eyang Putri sama siapa dong?”
            “Kita rencanya akan pindah ke rumah Eyang ini. Ayah, Bunda, Kirana dan Dek Bagas yang akan menemani Eyang Putri. Kirana setuju, nggak?” Jantung Kasih berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia khawatir dengan jawaban anaknya yang menolak rencana kepindahan itu.
            Tanpa diduga ekspresi berbeda ditunjukkan oleh Kirana. Matanya tampak berbinar. Sebuah senyuman terlukis indah di wajah cantiknya. Katanya, “Kirana setuju banget, Bun. Kirana senang bisa tinggal bareng Eyang. Selama ini kan, kita jarang ke rumah Eyang. Kalau nggak ada acara mana pernah kita ke sini. Lagian, kasihan Eyang kalau ditinggal sendirian di rumah ini.”
            “Kamu nggak keberatan dengan kondisi penyakit Eyang? Sikap Eyang itu suka berubah-berubah, lho.  Memang, Kirana nggak takut?”
            “Apa yang harus ditakutkan, Bu? Itu kan, eyangnya Kirana.”
            Jawaban dari Kirana seolah menampar Kasih. Kepolosan gadis kecil berusia sepuluh tahun itu menyadarkan mata batinnya. Ia harus mendukung keputusan yang diambil sang suami untuk merawat ibundanya. Karena yang saat ini ibu butuhkan ialah kasih sayang dan ketulusan dari anak, menantu dan cucunya.

*) Cerpen ini menjadi salah satu nominasi Lomba Menulis tentang Alzaimer pada tahun 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar