Ini kisah yang terjadi
sekitar dua puluh tahun yang lalu. Seorang anak yang belajar tentang sisi lain
perbedaan. Bahwa perbedaan tak
seharusnya memisahkan. Perbedaan akan terasa indah dengan adanya toleransi.
Pada suatu pagi Yanti, seorang anak perempuan berusia
delapan tahun bangun dari tidurnya. Wajahnya medadak cerah mengingat hari itu
adalah awal liburan sekolah. Semua sekolah serempak meliburkan muridnya karena
beberapa hari lagi adalah perayaan Idul Fitri. Gadis kecil itu membayangkan
berbagai kegiatan yang ingin dilakukannya seperti bermain dengan anak
tetangganya, membaca komik sampai menonton film kartun sepuas hatinya.
Yanti pun segera bangun dari tempat tidurnya. Tak lupa ia
merapikan tempat tidurnya lalu mengambil handuk yang tergantung di gantungan
handuk yang terletak depan kamarnya. Kakinya ia langkahkan dengan cepat menuju
kamar mandi. Sebelum sempat masuk ke dalam kamar mandi terdengar suara seorang
perempuan arah dapur.
“Yanti, “ panggil suara perempuan itu keras.
Yanti membalikkan badannya dan melihat ke arah suara yang
memanggilnya. Lalu ia menjawab, “Iya Ma. Ada apa?”
“Nanti sesudah mandi langsung sarapan ya. Setelah itu
kamu bantu Mama membuat kue,” kata Mama segera.
Wajah Yanti mendadak cemberut mendengar permintaan Sang
Mama. Ya, kok disuruh bantu-bantu sih.
Ini kan liburan, harusnya aku bisa santai, keluhnya dalam hati. Yanti pun
protes, “Tapi Ma, ini kan hari libur…”
Sebelum anaknya itu semakin mengeluh lebih lanjut, Mama
langsung menghentikan pembicaraannya. “Sudah sana cepat kamu mandi. Selesai
kamu mandi, langsung sarapan lalu bantu Mama,” perintahnya dengan tegas.
Mendengar perintah
tegas sang mama, mau tak mau Yanti segera masuk dalam kamar mandi dan
membersihkan dirinya. Selesai mandi, gadis cilik itu segera menikmati sarapan
yang telah sisiapkan sang ibu di atas meja makan. Sementara itu, tampak Mama
duduk di meja makan yang sama. Bundanya itu tampak sibuk menyiapkan bahan-bahan
seperti tepung, mentega telur, gula pasir dan bayak lagi untuk diolah menjadi
kue-kue yang lezat.
Sepiring nasi
goreng dan telur dadar ditambah segelas susu dihabiskannya dengan lahap.
Setelah menghabiskan menu sarapannya, gadis kecil itu segera membawa peralatan
makannya ke tempat cuci piring yang ada di belakang ruang makan. Ia pun mencuci
piring, sendok dan gelasnya sampai bersih. Meski hanya dikarunai seorang anak,
keluarga kecil itu memang telah membiasakan sang anak untuk melakukan pekerjaan
rumah seperti menyapu kamar dan mencuci piringnya sendiri.
“Yanti, sudah selesai kan makannya? Mari bantu Mama
membuat kue,” panggil Mama saat Yanti sedang menyimpan peralatan makannya di
rak piring.
Tanpa menunggu lama Yanti menjawab, “Iya Ma. Ini lagi
simpan piring dulu.”
Yanti berjalan mendekati meja tempat ia makan tadi. Terlihat
ibunya itu sedang sibuk membuat adonan kue dengan tangannya. Saat melihat
anaknya, Mama menghentikan sejenak aktivitas membuat adonan kue lalu mengambil
beberapa peralatan untuk membuat kue.
“Kamu poles loyang-loyang ini dengan mentega, setelah itu
lapisi dengan tepung seperti ini,” kata Mama sambil memberi contoh.
Yanti mengambil alih loyang kue yang ada di tangan
ibunya, lalu melakukan seperti instruksi yang diberikan. Dalam hitungan menit
ia berhasil menyelesaikan tugasnya memberi lapisan mentega dan tepung pada
beberapa loyang. Loyang-loyang kue itu segera diisi dengan adonan kue yang
dicetak secara apik oleh ibunda Yanti.
“Yanti tolong kamu
kasih kismis di tengahnya ya. Setelah itu, oles bagian tengahnya itu dengan kuning
telur pakai kuas ini.” Tangan Mama mengkangat sebuah kuas kecil, ia hendak
menunjukkan pada putrinya.
Tanpa menunggu lama, Yanti mengerjakan permintaan Mama.
Setelah semua adonan diberi hiasan kismis sang bunda mengangkat dan memasukkan
loyang-loyang kue tersebut ke dalam oven yang berada tak jauh dari meja makan.
Kemudian ia kembali mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat kue yang lain.
Melihat kesibukan sang bunda, timbul rasa penasaran dalam
hati Yanti. Gadis kecil itu pun bertanya, “Untuk apa sih Mama bikin kue
sebanyak ini? Memangnya mau ada acara ya Ma?”
Sang bunda tersenyum memandang gadis kecilnya. Katanya,”
Yanti lupa ya. Kan, sebentar kan Lebaran. Itu sebabnya Mama buat banyak kue.”
“Oh, Mama mau jual kue kering untuk Lebaran ya.”
“Bukan untuk dijual, Sayang. Mama sengaja membuat ini
semua untuk dibagikan pada tetangga kita yang berlebaran.”
“Hah,
dibagi-bagi? Buat apa Ma, kan kita nggak merayakan Lebaran seperti mereka,”
sahut Yanti asal. Bibirnya dimajukan beberapa senti, pikirannya tak mengerti
dengan perilaku sang ibu. Mama hanya tersenyum melihat raut wajah anaknya yang
cemberut,.
Ting! Suara
oven memberi tanda bahwa kue yang dipanggang telah siap diangkat. Mama segera
menghentikan aktivitasnya menyiapkan bahan lalu bangkit dari tempat duduknya.
Sebelum berjalan menuju oven Mama berkata, “Tetangga itu kan saudara terdekat kita, jadi apa salahnya kalau kita
berbagi sedikit yang kita punya.”
Kemudian kue-kue yang telah diangkat Mama dari oven diletakkan di atas meja makan yang telah diberi
alas kertas koran. Ibunda Yanti lalu mengambil beberapa toples plastik dan
sebuah sendok. “Nak, tolong kamu angkat kue-kue ini pakai sendok. Pelan-pelan
ya, biar nggak hancur kuenya.” Meski tak jua paham dengan maksud Sang Ibunda
membuat kue, Yanti menuruti semua permintaannya.
Setelah beberapa jam mereka berhasil menyelesaikan
pekerjaan membuat kue. Dengan kerja sama Mama dan Yanti menghasilkan tiga jenis
kue kering yang rasanya sungguh lezat. Kue semprit, kue putri salju dan kue
nastar kini telah tertata rapi dalam stoples-stopes platik yang telah disiapkan
ibunda Yanti sebelumya. Gadis kecil itu tersenyum melihat kue-kue yang
disisakan Sang Mama khusus baginya. Tanpa menunggu, ia segera menyembar toples
kue yang diberikan dan menyantapnya dengan lahap.
***
Beberapa hari kemudian, saat Yanti baru saja membuka
matanya di pagi hari, tiba-tiba Sang Ibu mengetuk pintu kamarnya. “Yanti, Mama
masuk ya,” katanya sambil masuk ke dalam kama.
“Ada apa, Ma? Tumben pagi-pagi udah rapi.”
“Begini, besok kan Lebaran. Warga kompleks kita yang
Muslim akan mengadakan acara Halal Bihalal di Aula Warga, jadi Mama mau
membantu masak di rumahnya Tante Kadir. Kamu dirumah aja ya, ada Papa kok.
Kebetulan kantor Papa sudah libur, jadi kamu ada temannya di rumah.Mama sudah
siapkan makanan untuk sarapan dan makan siang. Kamu ambil sendiri aja ya. Mama
pergi dulu,” ucap Mama tanpa menunggu persetujuan putrinya itu.
Yanti terbengong-bengong saat ditinggal sang mama.
Sebenarnya ia ingin protes pada Mama. Tapi sebelum berucap, ibunya langsung
keluar dari kamar. Kenapa sih, Mama mau
capek-capek membantu masak? Kan itu hari raya mereka, kenapa nggak biarkan saja
mereka yang mempersiapkannya sendiri? Aku
kan juga pengen jalan-jalan bareng Mama dan Papa selagi libur,
keluhnya dalam hati.
Mau tak mau, Yanti terpaksa menghabiskan waktunya hari
itu di rumah. Ia memilih untuk mengurung diri di kamar. Gadis cilik itu memilih
buku cerita dan komik sebagai temannya seharian. Ia hanya akan keluar kamar
saar sang ayah memanggilnya untuk makan atau beberapa keperluan tertentu.
Mengurung diri di kamar adalah bentuk protes anak itu pada ibunya.
***
Keesokan harinya, saat fajar menyingsing Yanti bangun
dari kasur empuknya lalu segera membereskannya. Sambil membawa handuk ia
langsung melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Selesai mandi gadis cilik itu
segera bergabung dengan ayah dan ibunya yang telah menantinya di meja makan.
“Wow, banyak makanannya. Enak-enak pula, ada rendang, ada
sambal hati. Ini semua Mama yang masak?” tanya Yanti terheran-heran.
Mama pun tersenyum memandang Yanti. Lalu ia menjawab, “Bukan. Ada yang ngasih.”
“Hah, dikasih? Siapa yang ngasih Ma?” tanyanya lagi.
Namun sebelum ibunya menjawab terdengar suara ketukan dari pintu depan
rumahnya.
Tok, tok, tok… Terdengar pula suara seorang anak
perempuan memanggil, “Permisi…!” Papa mengangkat alisnya, seolah ingin memberi
tanda pada Yanti untuk membuka pintu. Anak itu segera bangkit dari duduknya
lalu membukakan pintu. Tampak Anisa, anak tetangga yang seusianya sedang membawa sesuatu di
tangannya.
“Nisa, ada apa ya?”
Gadis kecil bernama Anisa pun menyerahkan rantang yang
dibawanya pada Yanti. Katanya, “Ini ada
sedikit makanan khas Lebaran buatan Nenekku. Semoga kalian suka ya.”
Yanti menerima rantang yang diberikan Anisa sambil
berkata, “Terimakasih ya, Nis. Oh ya, selamat Idul Fitri ya.” Tangannya ia
menjulurkan tangannya pada tetangganya itu. Mereka bersalaman dan senyum tersungging
di wajah keduanya.
“Oh ya, makasih ya untuk kue-kue kering. Kata Tante waktu
nganter, kue-kue itu buatan Tante dan kamu ya, Yan. Aku sudah coba, rasanya
enak. Soalnya Ibuku kan baru saja melahirkan, jadi nggak sempat bikin kue.
Terpaksa deh, Ayah beli kue kering di toko. Untung aja Tante ngasih kue-kue
itu, serasa kue buatan Ibu.”
Yanti tersenyum mendengar pujian dari Anisa barusan. Ia
tak menyangka kalau tetangganya itu bisa berbicara selancar itu padanya. Karena
selama ini ia dan anak perempuan itu tak pernah berbincang, mereka hanya
bertukar senyum saat berpapasan. Lagi pula ia sangat jarang melihat Anisa bermain di luar
rumah.
“Aku balik dulu ya, nanti
malah dicari sama keluargaku.”
“Tunggu, ini rantangnya gimana?” tanyanya sambil memegang
tangan Anisa.
“Kata Ibu ditinggal aja dulu. Biar besok aku ambil ke
sini. Soalnya aku harus bantuin Ibu melayani tamu-tamu di rumah.”
“Kalau begitu, makasih ya,” ucap Yanti sekali lagi.
“Iya, sama-sama. Yuk, dah…”
Yanti kembali ke ruang makan sambil membawa rantang dari
Anisa. Lalu ia letakkan rantang itu di atas meja, dekat dengan ibunya. Lalu ia
berkata, “Ini makanan dari keluarganya Anisa, Ma.”
Mama langsung membuka rantang dan mengecek isi yang ada
di dalamnya. Wah ada ketupat sama sayuran dan opor ayamnya, Yan. Ini kan
makanan kesukaanmu. Ayo kamu makan aja dulu.”
Yanti mengambil sebuah piring dan menyerahkan pada sang
bunda. Lalu berpindahlah makanan dari rantang ke dalam piring. Tanpa menunggu
lama, anak itu segera melahap ketupat opor buatan Nenek Anisa. Makanan itu pun
tandas dalam waktu singkat.
“Hmm… Masakan Neneknya Anisa memang enak.”
Mama dan Papa tersenyum melihat tingkah putrinya itu.
Sang ibu kemudian berkata, “Oh ya, Si Nisa kok nggak kamu ajak masuk tadi? Kan
kasihan berdiri di luar.”
“Dianya aja tadi
buru-buru, Ma. Katanya sudah ditunggu sama keluarganya. Dia kan harus bantuin
ibunya melayani tamu. Kan, ibunya baru melahirkan.”
“Itu salah satu alasan kenapa Mama bagi-bagi kue kering.
Mama yakin ibunya Nisa nggak sempat bikin kue. Lagi pula nggak ada salahnya kan
kita berbuat baik sama sesama. Apalagi mereka itu tetangga kita. Tetangga kan
saudara terdekat kita, Yan,” ucapnya menjelaskan.
“Oh, gitu ya. Aku kan, sebelumnya nggak tau alasannya.
Lagi pula aku hanya ingin bisa menghabiskan waktu liburan bersama Mama dan
Papa.”
Sang ibunda tersenyum lalu kembali melanjutkan, “Mama
minta maaf ya kalau liburanmu kali ini nggak sesuai dengan harapanmu. Tapi Mama
hanya ingin kamu memahami ada saatnya kita bersenang-senang, ada saatnya juga
kita harus peduli dan membantu orang lain.”
Papa yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan ibu dan
anak itu ikut berbicara. Katanya, “Mamamu benar, Yan. Di sekolah minggu kamu
juga diajarin kan bagaimana seharusnya kita hidup. Kita seharusnya bisa
memancarkan kasih kepada semua orang, termasuk juga dengan orang lain. Kita
tidak boleh berhenti berbuat kasih pada siapa pun. Paham kamu kan?”
Sambil tersenyum Yanti menjawab, “Iya, Pa.”
“Lagi pula nggak ada salahnya berbuat baik kan. Coba kamu
ingat-ingat, selama ini mana pernah kamu dan Anisa ngobrol. Setelah Mama
membagi kue-kue itu, kalian bisa berbicang bahkan mungkin nanti berteman akrab.
Setiap Lebaran kita juga selalu mendapat kiriman makanan dari para tetangga
yang merayakan hari raya. Bahkan waktu Mama keluar kota beberapa bulan yang
lalu, sementara kamu jatuh sakit kan Tante Kadir yang bantuin merawat kamu.
Jadi nggak salah dong apa yang Mama buat?”
“Maafkan Yanti ya Ma. Yanti hanya memikirkan kesenangan
sendiri.” Kepalanya tertunduk. Sebuah penyesalan menumpuk di dalam dadanya kin.
“Iya, Mama maafkan. Berarti aksi mengurung diri di
kamarnya sudah selesai ya,” kata Mama menggoda putrinya itu.
“Ah, Mama. Kok Mam bisa tahu sih? Oh, pasti Papa ya yang
ngasih tahu.”
Lalu ketiga tertawa serempak. Setelah puas tertawa, sang
ayah berkata, “Nanti kamu ikut sama Papa dan Mama ke acara halal bihalal di
aula warga kan? Soalnya Papa dan Mama rencananya mau sekalian silahturahmi ke
rumah beberapa orang yang merayakan Lebaran. Gimana?”
“Iya, dong. Yanti pasti ikut.”
Lanjut Papa, “Ya, sudah kalau begitu sana kamu cuci
piring bekas makanmu lalu siap-siap ya. Sekitar jam sebelas kita berangkat.”
Yanti segera menjalankan instruksi sang ayah. Kali ini
tergambar sebuah senyuman di wajahnya. Ia bangga memiliki orang tua yang sangat
peduli pada sesamanya, bahkan orang yang berbeda dengan mereka sekali pun.
Dalam hati ia berjanji akan belajar untuk lebih menghargai dan peduli pada
orang lain.