Rabu, 11 Februari 2015

Surat untuk Stiletto Book






Perkenalkan saya Susana Ferbyanty. Saya adalah satu penggemar buku-buku terbitan Stiletto Book, meski sebenarnya saya belum terlalu lama membaca buku-buku yang telah diterbitkan oleh Stiletto Book. Namun di mata saya Stiletto Book telah mencuri hati saya sebagai seorang yang hobby membaca buku.
            Suatu siang di akhir minggu saya menyempatkan waktu khusus untuk melakukan hunting buku. Di antara ribuan buku yang terdapat di rak besar di sebuah toko buku di kawasan Sagan, Yogyakarta sebuah buku menarik perhatian saya. Judul di buku itu entah mengapa membawa mata saya untuk melihatnya. Girl Talk, judul buku itu. Buku apakah ini? tanya saya dalam hati. Saat itu hanya tersisa 3 buku di rak tersebut. Tangan saya pun segera mengambilnya. Pelan-pelan saya baca sinopsis yang terdapat di sapul belakang buku itu. Rupanya buku ini berisi 30 kisah cinta mengenai 60 perempuan. Hmm, sepertinya menarik, pikir saya kemudian. Tak berapa lama, saya bergegas menuju kasir dan membayar buku tersebut.
            Karena penulisannya yang menarik buku Girl Talk itu membuat rasa penasaran terus menggelayut di pikiran saya. Saya ingin terus-terusan membaca buku itu hingga selesai. Tapi apa daya segala aktivitas terkadang menghalangi keinginan untuk membaca buku tersebut. Meski begitu saya berusaha untuk menyempatkan waktu saya minimal sekali sehari untuk membaca kisah-kisah yang ada di buku Girl Talk ini. Alhasil dalam jangka waktu kurang dari seminggu saya bisa tuntas membaca buku tersebut. Rasanya puas sekali bisa membaca buku Girl Talk ini hingga tuntas. Karena saya bisa belajar banyak dari kisah-kisah yang diceritakan dalam buku itu. Saya menemukan banyak hikmah dari kisah-kisah yang ada, misalnya saja bagaimana keberanian seorang perempuan mengambil keputusan yang penting dalam hidupnya, apa yang harus dilakukan perempuan untuk move on dan masih banyak lagi. Kisah-kisah tersebut menyentuh hati karena tak berkesan menggurui dan ditulis berdasarkan kaca mata seorang permpuan.
            Setelah selesai membaca kisah-kisah di buku Girl Talk, saya membuka lembaran sisipan mengenai buku-buku yang diterbitkan oleh Stiletto Book. Saya menemukan sebuah judul buku yang menarik yaitu  A Cup Of Tea, Menggapai Mimpi. Judul buku itu kembali menggugah hati saya untuk membacanya. Akhirnya setelah beberapa lama kemudian saat saya mengunjungi sebuah toko buku yang berada di kawasan Jl. Affandi Yogyakarta saya pun membeli buku tersebut. Setelah membeli buku A Cup Of Tea, Menggapai Mimpi itu, saya menyimak satu persatu kisah yang ada di dalamnya. Kisah-kisah tersebut sangat sesuai bagi orang-orang yang sedang berjuang untuk mewujudkan mimpi mereka. A Cup Of Tea, Menggapai Mimpi dengan kisah-kisahnya mampu membangitkan semangat saya yang pada waktu itu sedang layu. Apalagi di akhir setiap kisah terdapat renungan singkat yang semakin mencerahkan. Maka tak heran jika buku tersebut saya beri coretan spidol sebagai tanda inspirasi bagi di saya.
            Pengalaman membaca dua buku tersebut membuat saya penasaran dengan penerbitnya. Saya mencoba mencari tahu mengenai penerbit dan redaksinya. Penerbitan ini digawangi oleh kaum perempuan. Rasanya wajar bila buku-buku yang diterbitkan oleh Stiletto Book ini kemudian sangat perempuan, khusus  bagi perempuan dengan sentuhan kelembutan  seorang perempuan. Saya berharap penerbitan ini bisa terus berjaya dan mempertahankan kekhususannya tersebut. Dengan begitu setiap perempuan merasa terwakilkan lewat buku-buku terbitan Stiletto Book. Semoga suatu saat saya bisa menghasilkan sebuah kisah terbaik lewat Stiletto Book.  Maju terus Stiletto Book demi kemajuan perempuan Indonesia.,,,!

Nama: Susana Febryanty Emelda Sondang Bertuah
Email: susanafebryanty@gmail.com 


Senin, 09 Februari 2015

Kasih dalam Perbedaan



Ini kisah yang terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu. Seorang anak yang belajar tentang sisi lain perbedaan.  Bahwa perbedaan tak seharusnya memisahkan. Perbedaan akan terasa indah dengan adanya toleransi.
            Pada suatu pagi Yanti, seorang anak perempuan berusia delapan tahun bangun dari tidurnya. Wajahnya medadak cerah mengingat hari itu adalah awal liburan sekolah. Semua sekolah serempak meliburkan muridnya karena beberapa hari lagi adalah perayaan Idul Fitri. Gadis kecil itu membayangkan berbagai kegiatan yang ingin dilakukannya seperti bermain dengan anak tetangganya, membaca komik sampai menonton film kartun sepuas hatinya.
            Yanti pun segera bangun dari tempat tidurnya. Tak lupa ia merapikan tempat tidurnya lalu mengambil handuk yang tergantung di gantungan handuk yang terletak depan kamarnya. Kakinya ia langkahkan dengan cepat menuju kamar mandi. Sebelum sempat masuk ke dalam kamar mandi terdengar suara seorang perempuan arah dapur.
            “Yanti, “ panggil suara perempuan itu keras.
            Yanti membalikkan badannya dan melihat ke arah suara yang memanggilnya. Lalu ia menjawab, “Iya Ma. Ada apa?”
            “Nanti sesudah mandi langsung sarapan ya. Setelah itu kamu bantu Mama membuat kue,” kata Mama segera.
            Wajah Yanti mendadak cemberut mendengar permintaan Sang Mama. Ya, kok disuruh bantu-bantu sih. Ini kan liburan, harusnya aku bisa santai, keluhnya dalam hati. Yanti pun protes, “Tapi Ma, ini kan hari libur…”
            Sebelum anaknya itu semakin mengeluh lebih lanjut, Mama langsung menghentikan pembicaraannya. “Sudah sana cepat kamu mandi. Selesai kamu mandi, langsung sarapan lalu bantu Mama,” perintahnya dengan tegas.
            Mendengar  perintah tegas sang mama, mau tak mau Yanti segera masuk dalam kamar mandi dan membersihkan dirinya. Selesai mandi, gadis cilik itu segera menikmati sarapan yang telah sisiapkan sang ibu di atas meja makan. Sementara itu, tampak Mama duduk di meja makan yang sama. Bundanya itu tampak sibuk menyiapkan bahan-bahan seperti tepung, mentega telur, gula pasir dan bayak lagi untuk diolah menjadi kue-kue yang lezat.
             Sepiring nasi goreng dan telur dadar ditambah segelas susu dihabiskannya dengan lahap. Setelah menghabiskan menu sarapannya, gadis kecil itu segera membawa peralatan makannya ke tempat cuci piring yang ada di belakang ruang makan. Ia pun mencuci piring, sendok dan gelasnya sampai bersih. Meski hanya dikarunai seorang anak, keluarga kecil itu memang telah membiasakan sang anak untuk melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu kamar dan mencuci piringnya sendiri.
            “Yanti, sudah selesai kan makannya? Mari bantu Mama membuat kue,” panggil Mama saat Yanti sedang menyimpan peralatan makannya di rak piring.
            Tanpa menunggu lama Yanti menjawab, “Iya Ma. Ini lagi simpan piring dulu.”
            Yanti berjalan mendekati meja tempat ia makan tadi. Terlihat ibunya itu sedang sibuk membuat adonan kue dengan tangannya. Saat melihat anaknya, Mama menghentikan sejenak aktivitas membuat adonan kue lalu mengambil beberapa peralatan untuk membuat kue.
            “Kamu poles loyang-loyang ini dengan mentega, setelah itu lapisi dengan tepung seperti ini,” kata Mama sambil memberi contoh.
            Yanti mengambil alih loyang kue yang ada di tangan ibunya, lalu melakukan seperti instruksi yang diberikan. Dalam hitungan menit ia berhasil menyelesaikan tugasnya memberi lapisan mentega dan tepung pada beberapa loyang. Loyang-loyang kue itu segera diisi dengan adonan kue yang dicetak secara apik oleh ibunda Yanti.
            “Yanti tolong  kamu kasih kismis di tengahnya ya. Setelah itu, oles bagian tengahnya itu dengan kuning telur pakai kuas ini.” Tangan Mama mengkangat sebuah kuas kecil, ia hendak menunjukkan pada putrinya.
            Tanpa menunggu lama, Yanti mengerjakan permintaan Mama. Setelah semua adonan diberi hiasan kismis sang bunda mengangkat dan memasukkan loyang-loyang kue tersebut ke dalam oven yang berada tak jauh dari meja makan. Kemudian ia kembali mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat kue yang lain.
            Melihat kesibukan sang bunda, timbul rasa penasaran dalam hati Yanti. Gadis kecil itu pun bertanya, “Untuk apa sih Mama bikin kue sebanyak ini? Memangnya mau ada acara ya Ma?”
            Sang bunda tersenyum memandang gadis kecilnya. Katanya,” Yanti lupa ya. Kan, sebentar kan Lebaran. Itu sebabnya Mama buat banyak kue.”
            “Oh, Mama mau jual kue kering untuk Lebaran ya.”
            “Bukan untuk dijual, Sayang. Mama sengaja membuat ini semua untuk dibagikan pada tetangga kita yang berlebaran.”
            Hah, dibagi-bagi? Buat apa Ma, kan kita nggak merayakan Lebaran seperti mereka,” sahut Yanti asal. Bibirnya dimajukan beberapa senti, pikirannya tak mengerti dengan perilaku sang ibu. Mama hanya tersenyum melihat raut wajah anaknya yang cemberut,.
            Ting! Suara oven memberi tanda bahwa kue yang dipanggang telah siap diangkat. Mama segera menghentikan aktivitasnya menyiapkan bahan lalu bangkit dari tempat duduknya. Sebelum berjalan menuju oven Mama berkata, “Tetangga itu kan saudara  terdekat kita, jadi apa salahnya kalau kita berbagi sedikit yang kita punya.”
            Kemudian kue-kue yang telah diangkat Mama dari oven  diletakkan di atas meja makan yang telah diberi alas kertas koran. Ibunda Yanti lalu mengambil beberapa toples plastik dan sebuah sendok. “Nak, tolong kamu angkat kue-kue ini pakai sendok. Pelan-pelan ya, biar nggak hancur kuenya.” Meski tak jua paham dengan maksud Sang Ibunda membuat kue, Yanti menuruti semua permintaannya.
            Setelah beberapa jam mereka berhasil menyelesaikan pekerjaan membuat kue. Dengan kerja sama Mama dan Yanti menghasilkan tiga jenis kue kering yang rasanya sungguh lezat. Kue semprit, kue putri salju dan kue nastar kini telah tertata rapi dalam stoples-stopes platik yang telah disiapkan ibunda Yanti sebelumya. Gadis kecil itu tersenyum melihat kue-kue yang disisakan Sang Mama khusus baginya. Tanpa menunggu, ia segera menyembar toples kue yang diberikan dan menyantapnya dengan lahap.
                                                                        ***
            Beberapa hari kemudian, saat Yanti baru saja membuka matanya di pagi hari, tiba-tiba Sang Ibu mengetuk pintu kamarnya. “Yanti, Mama masuk ya,” katanya sambil masuk ke dalam kama.
            “Ada apa, Ma? Tumben pagi-pagi udah rapi.”
            “Begini, besok kan Lebaran. Warga kompleks kita yang Muslim akan mengadakan acara Halal Bihalal di Aula Warga, jadi Mama mau membantu masak di rumahnya Tante Kadir. Kamu dirumah aja ya, ada Papa kok. Kebetulan kantor Papa sudah libur, jadi kamu ada temannya di rumah.Mama sudah siapkan makanan untuk sarapan dan makan siang. Kamu ambil sendiri aja ya. Mama pergi dulu,” ucap Mama tanpa menunggu persetujuan putrinya itu.
            Yanti terbengong-bengong saat ditinggal sang mama. Sebenarnya ia ingin protes pada Mama. Tapi sebelum berucap, ibunya langsung keluar dari kamar. Kenapa sih, Mama mau capek-capek membantu masak? Kan itu hari raya mereka, kenapa nggak biarkan saja mereka yang mempersiapkannya sendiri? Aku kan juga pengen jalan-jalan bareng Mama dan Papa selagi libur, keluhnya  dalam hati.
            Mau tak mau, Yanti terpaksa menghabiskan waktunya hari itu di rumah. Ia memilih untuk mengurung diri di kamar. Gadis cilik itu memilih buku cerita dan komik sebagai temannya seharian. Ia hanya akan keluar kamar saar sang ayah memanggilnya untuk makan atau beberapa keperluan tertentu. Mengurung diri di kamar adalah bentuk protes anak itu pada ibunya.
                                                            ***
            Keesokan harinya, saat fajar menyingsing Yanti bangun dari kasur empuknya lalu segera membereskannya. Sambil membawa handuk ia langsung melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Selesai mandi gadis cilik itu segera bergabung dengan ayah dan ibunya yang telah menantinya di meja makan.
            “Wow, banyak makanannya. Enak-enak pula, ada rendang, ada sambal hati. Ini semua Mama yang masak?” tanya Yanti terheran-heran.
            Mama pun tersenyum memandang Yanti.  Lalu ia menjawab, “Bukan. Ada yang ngasih.”
            “Hah, dikasih? Siapa yang ngasih Ma?” tanyanya lagi. Namun sebelum ibunya menjawab terdengar suara ketukan dari pintu depan rumahnya.
            Tok, tok, tok… Terdengar pula suara seorang anak perempuan memanggil, “Permisi…!” Papa mengangkat alisnya, seolah ingin memberi tanda pada Yanti untuk membuka pintu. Anak itu segera bangkit dari duduknya lalu membukakan pintu. Tampak Anisa, anak tetangga  yang seusianya sedang membawa sesuatu di tangannya.
            “Nisa, ada apa ya?”
            Gadis kecil bernama Anisa pun menyerahkan rantang yang dibawanya  pada Yanti. Katanya, “Ini ada sedikit makanan khas Lebaran buatan Nenekku. Semoga kalian suka ya.”
            Yanti menerima rantang yang diberikan Anisa sambil berkata, “Terimakasih ya, Nis. Oh ya, selamat Idul Fitri ya.” Tangannya ia menjulurkan tangannya pada tetangganya itu. Mereka bersalaman dan senyum tersungging di wajah keduanya.
            “Oh ya, makasih ya untuk kue-kue kering. Kata Tante waktu nganter, kue-kue itu buatan Tante dan kamu ya, Yan. Aku sudah coba, rasanya enak. Soalnya Ibuku kan baru saja melahirkan, jadi nggak sempat bikin kue. Terpaksa deh, Ayah beli kue kering di toko. Untung aja Tante ngasih kue-kue itu, serasa kue buatan Ibu.”
            Yanti tersenyum mendengar pujian dari Anisa barusan. Ia tak menyangka kalau tetangganya itu bisa berbicara selancar itu padanya. Karena selama ini ia dan anak perempuan itu tak pernah berbincang, mereka hanya bertukar senyum saat berpapasan. Lagi pula ia  sangat jarang melihat Anisa bermain di luar rumah.
            “Aku balik dulu ya, nanti  malah dicari sama keluargaku.”
            “Tunggu, ini rantangnya gimana?” tanyanya sambil memegang tangan Anisa.
            “Kata Ibu ditinggal aja dulu. Biar besok aku ambil ke sini. Soalnya aku harus bantuin Ibu melayani tamu-tamu di rumah.”
            “Kalau begitu, makasih ya,” ucap Yanti sekali lagi.
            “Iya, sama-sama. Yuk, dah…”
            Yanti kembali ke ruang makan sambil membawa rantang dari Anisa. Lalu ia letakkan rantang itu di atas meja, dekat dengan ibunya. Lalu ia berkata, “Ini makanan dari keluarganya Anisa, Ma.”
            Mama langsung membuka rantang dan mengecek isi yang ada di dalamnya. Wah ada ketupat sama sayuran dan opor ayamnya, Yan. Ini kan makanan kesukaanmu. Ayo kamu makan aja dulu.”
            Yanti mengambil sebuah piring dan menyerahkan pada sang bunda. Lalu berpindahlah makanan dari rantang ke dalam piring. Tanpa menunggu lama, anak itu segera melahap ketupat opor buatan Nenek Anisa. Makanan itu pun tandas dalam waktu singkat.
            “Hmm… Masakan Neneknya Anisa memang enak.”
            Mama dan Papa tersenyum melihat tingkah putrinya itu. Sang ibu kemudian berkata, “Oh ya, Si Nisa kok nggak kamu ajak masuk tadi? Kan kasihan berdiri di luar.”
            “Dianya aja  tadi buru-buru, Ma. Katanya sudah ditunggu sama keluarganya. Dia kan harus bantuin ibunya melayani tamu. Kan, ibunya baru melahirkan.”
            “Itu salah satu alasan kenapa Mama bagi-bagi kue kering. Mama yakin ibunya Nisa nggak sempat bikin kue. Lagi pula nggak ada salahnya kan kita berbuat baik sama sesama. Apalagi mereka itu tetangga kita. Tetangga kan saudara terdekat kita, Yan,” ucapnya menjelaskan.
            “Oh, gitu ya. Aku kan, sebelumnya nggak tau alasannya. Lagi pula aku hanya ingin bisa menghabiskan waktu liburan bersama Mama dan Papa.”
            Sang ibunda tersenyum lalu kembali melanjutkan, “Mama minta maaf ya kalau liburanmu kali ini nggak sesuai dengan harapanmu. Tapi Mama hanya ingin kamu memahami ada saatnya kita bersenang-senang, ada saatnya juga kita harus peduli dan membantu orang lain.”
            Papa yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan ibu dan anak itu ikut berbicara. Katanya, “Mamamu benar, Yan. Di sekolah minggu kamu juga diajarin kan bagaimana seharusnya kita hidup. Kita seharusnya bisa memancarkan kasih kepada semua orang, termasuk juga dengan orang lain. Kita tidak boleh berhenti berbuat kasih pada siapa pun. Paham kamu kan?”
            Sambil tersenyum Yanti menjawab, “Iya, Pa.”
            “Lagi pula nggak ada salahnya berbuat baik kan. Coba kamu ingat-ingat, selama ini mana pernah kamu dan Anisa ngobrol. Setelah Mama membagi kue-kue itu, kalian bisa berbicang bahkan mungkin nanti berteman akrab. Setiap Lebaran kita juga selalu mendapat kiriman makanan dari para tetangga yang merayakan hari raya. Bahkan waktu Mama keluar kota beberapa bulan yang lalu, sementara kamu jatuh sakit kan Tante Kadir yang bantuin merawat kamu. Jadi nggak salah dong apa yang Mama buat?”
            “Maafkan Yanti ya Ma. Yanti hanya memikirkan kesenangan sendiri.” Kepalanya tertunduk. Sebuah penyesalan menumpuk di dalam dadanya kin.
            “Iya, Mama maafkan. Berarti aksi mengurung diri di kamarnya sudah selesai ya,” kata Mama menggoda putrinya itu.
            “Ah, Mama. Kok Mam bisa tahu sih? Oh, pasti Papa ya yang ngasih tahu.”
            Lalu ketiga tertawa serempak. Setelah puas tertawa, sang ayah berkata, “Nanti kamu ikut sama Papa dan Mama ke acara halal bihalal di aula warga kan? Soalnya Papa dan Mama rencananya mau sekalian silahturahmi ke rumah beberapa orang yang merayakan Lebaran. Gimana?”
            “Iya, dong. Yanti pasti ikut.”
            Lanjut Papa, “Ya, sudah kalau begitu sana kamu cuci piring bekas makanmu lalu siap-siap ya. Sekitar jam sebelas kita berangkat.”
            Yanti segera menjalankan instruksi sang ayah. Kali ini tergambar sebuah senyuman di wajahnya. Ia bangga memiliki orang tua yang sangat peduli pada sesamanya, bahkan orang yang berbeda dengan mereka sekali pun. Dalam hati ia berjanji akan belajar untuk lebih menghargai dan peduli pada orang lain.