Oleh:
Susana Febryanty
Kesempurnaan selalu menjadi dambaan banyak orang. Tubuh
sempurna tanpa cacat cela seolah menjadi keharusan yang harus dimiliki. Apa
jadinya jika ada salah seorang dari pada Anda atau keluarga Anda yang mengalami
kekurangan secara fisik? Bagaimana seharusnya kita sebagai masyarakat memandang
dan memperlakukan kaum difabel?
Sebagai sebuah bangsa, keberadaan kaum difabel tak dapat
kita abaikan begitu saja. Karena pada kenyataannya mereka ada dan menjadi
bagian dari masyarakat ini. Menurut WHO (2014, dalam http://www.rahima.or.id/maulani-a-rotinsulubanyak-momen-perlu-diciptakan-agar-masyarakat-memahami-ha-hak-disabilitas-opini-1-edisi-45&catid=33:opini-suara-rahima&Itemid=305)
sebagai badan kesehatan dunia jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah
10 % dari jumlah penduduk. Bahkan setelah konvensi dirativikasi WHO
mengungkapkan bahwa penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 15% dari
jumlah penduduk negara ini.
Namun, pada kenyataannya masih banyak
masyarakat yang memperlakukan kaum difabel dengan tidak semestinya. Tak sedikit
anak penyandang disabilitas yang disebunyikan atau dibuang oleh keluarganya
karena dianggap sebagai sumber aib yang memalukan. Bahkan ada pula orang yang
tega mengeksplotasi kaum difabel dengan menjadikan mereka sebagai pengemis.
Diskriminasi
Sebagai sesama manusia sudah sepatutnya kita
memperlakukan kaum difabel dengan manusiawi. Mereka pun berhak mendapatka
perlakuan dan fasilitas yang sama dengan orang yang memiliki fisik normal.
Sayangnya, secara sadar maupun tidak sadar, kita melakukan diskriminasi
terhadap mereka yang difabel. Perilaku diskriminatif tersebut dapat
tergambar melalui tutur kata dalam candaan yang menyingung kaum difabel,
serta sikap kita saat bertemu dengan kaum difabel.
Perlakuan yang diskriminatif terhadap kaum difabel sering
kali terjadi karena kesalahan persepsi masyarakat kita terhadap perbedaan fisik
mereka. Masih banyak diantara kita yang menilai disabilitas adalah sebuah
penyakit yang timbul karena karma perbuatan seseorang atau beberapa orang. Ada
pula yang orang yang mengucilkan atau berusaha menyingkirkan seorang difabel
karena menganggapnya sebagai individu yang tak mampu mandiri dan hanya akan
merepotkan orang lain. Padahal mereka (kaum difabel) dapat hidup mandiri jika
mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai.
Saya masih ingat pengalaman ketika bersingungan langsung
dengan seorang yang berbeda secara fisik. Ia adalah salah satu teman saya satu
kos semasa kuliah dulu. Sepintas penampilan teman itu tampak sama dengan orang
normal pada umumnya. Namun jika diperhatikan dengan seksama akan tampak perbedaan keadaan fisiknya. Telapak kakinya
yang sebelah kanan tak dapak menapak dengan baik. Sehingga ia akan terlihat
pincang saat berjalan. Selain itu telapak tangannya sebelah kanan juga tak
dapat membuka secara lebar, bahkan beberapa jari tangan kanannya juga sedikit
bengkok.
Namun siapa sangka keadaan fisiknya itu sama sekali tidak
berpengaruh dengan kesehariannya. Permasalahan dalam kakinya membuat teman kami
ini sulit berjalan dengan baik. Langkah kakinya pelan dan terseok-seok. Bahkan
ada kalanya ia tiba-tiba terjatuh denggan sendirinya. Tapi ia menolong uluran
tangan kami yang ingin membantunya. Dengan usahanya sendiri ia akan bangkit dan
segera beridiri. Tangannya juga tak mampu menggenggam secara baik. Sehingga
butuh teknik khusus agar benda yang ada di tangannya tak lepas begitu saja.
Meski demikian tak sekali pun keluhan meluncur dari mulutnya.
Sesungguhnya ia adalah penyemangat bagi saya dan
teman-teman. Keceriannya selalu membuat kami kerap merindukannya. Ia bahkan
kerap membuka talinganya lear-lebar bagi kami yang ingin mencurahkan isi hati
kami. Itu sebabnya kami, teman-temannya selalu siap membantunya kapan pun ia
membutuhkan pertolongan kami. Tak ada yang mau menyakiti hatinya.
Sayangnya, pada masa itu fasilitas transportasi kurang
mendukung orang-orang yang difabel. Jumlah bus yang melewati area rumah kos
kami masih sangat jarang. Terkadang kami harus menunggu selama beberapa lama.
Bus sangat padat membuat penumpang sulit bergerak sampai jumlahnya sedikit
berkurang. Selain itu, sering kali supir bertindak seenaknya pada penumpang.
Mereka kerap kali bertindak tak sabaran pada penumpang. Sehingga wajar saja
jika ada beberapa penumpang yang kemudian jatuh saat turun dari bus. karena
supirnya yang membawa mobil dengan terburu-buru. Tak dapat saya bayangkan jika
teman kami ini menumpang kendaraan umum tersebut. Ia bisa saja celaka akibat
tingkah supir bus yang ugal-ugalan tersebut.
Untung saja teman kami ini masih memiliki paman dan
saudara sepupu yang tinggal di pinggiran kota Yogya. Sepupunya tersebutlah yang
kerap mengantar jemput teman kami tersebut jika ia membutuhkan kendaraan untuk
bepergian jauh. Ada pula teman lain yang bersedia mengantarnya dengan motor
untuk pergi ke tempat-tempat tertentu. Selain itu, kami juga kerap membantunya
untuk membeli benda-beda tertentu di super market yang terletak beberapa ratus meter dari rumah kos.
Sehingga ia tak perlu mengalami kesulitan menaiki kendaraan umum yang tak
nyaman dan tak aman tersebut.
Namun untuk masalah fasilitas umum bagi kaum difabel di Kota Yogyakarta ternyata keadaan tak
banyak berubah. Nyatanya fasilitas umum di Kota Yogya terbilang masih belum
sepenuhnya mendukung kaum difabel. Menurut Prestri Murni (dalam http://jogj.tribunnews.com/2015/15/05/aksesibilitas-transportasi-untuk-difabel-di-kota-yogya-masih-kurang)
sebagai Ketua Balitbang Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak fasilitas
transportasi umum tak mencukupi bagi kaum difabel. Begitu pun dengan jumlah
transportasi umum yang mulai berkurang akibat masyarakat yang lebih mememilih
untuk menggunakan kendaraan pribadi dibanding transportasi umum. Selain itu,
bentuk pintu halte bus seperti Trans Jogja menyulitkan kaum difabel, termasuk
yang berkursi roda untuk melewatinya.
Gambar: http://jogja.antaranews.com/berita/335781/pemkab-sleman-bentuk-desa-inklusi
Harus
Didukung
Kaum difabel adalah manusia yang sama seperti orang yang
lainnya. Yang berbeda dari mereka hanya bentuk tubuh atau keadaan fisik mereka.
Namun sesungguhnya mereka memiliki potensi untuk menjadi orang yang berhasil.
Yang mereka butuhkan ialah dukungan dari kita. Dan bukan ejekan, apalagi
hinaan.
Para kaum difabel juga memiliki perasaan dan pemikiran
yang sama dengan kita. Hargai dan hormati mereka dengan cara mendengarkan
setiap pendapat mereka. Keadaan fisik mereka mungkin saja membuat aktivitas
menjadi tak leluasa. Tapi bukan berarti itu menjadi halangan bukan. Sebagai
manusia dewasa sudah sepantasnya kita memperlakukan setiap orang, termasuk kaum
difabel secara baik. Karena sesungguhnya setiap manusia adalah sama.
Bagi Anda yang ingin
mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai kaum difabel, silahkan cek kitasetara.or.id. Dengan menghargai
kaum difabel artinya kita turut menegakkan hak kemanusiaan mereka.