Jumat, 15 Januari 2016

Memanusiakan Kaum Difabel



Oleh: Susana Febryanty

            Kesempurnaan selalu menjadi dambaan banyak orang. Tubuh sempurna tanpa cacat cela seolah menjadi keharusan yang harus dimiliki. Apa jadinya jika ada salah seorang dari pada Anda atau keluarga Anda yang mengalami kekurangan secara fisik? Bagaimana seharusnya kita sebagai masyarakat memandang dan memperlakukan kaum difabel?

            Sebagai sebuah bangsa, keberadaan kaum difabel tak dapat kita abaikan begitu saja. Karena pada kenyataannya mereka ada dan menjadi bagian dari masyarakat ini. Menurut WHO (2014, dalam http://www.rahima.or.id/maulani-a-rotinsulubanyak-momen-perlu-diciptakan-agar-masyarakat-memahami-ha-hak-disabilitas-opini-1-edisi-45&catid=33:opini-suara-rahima&Itemid=305) sebagai badan kesehatan dunia jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah 10 % dari jumlah penduduk. Bahkan setelah konvensi dirativikasi WHO mengungkapkan bahwa penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 15% dari jumlah penduduk negara ini.  
            Namun, pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang memperlakukan kaum difabel dengan tidak semestinya. Tak sedikit anak penyandang disabilitas yang disebunyikan atau dibuang oleh keluarganya karena dianggap sebagai sumber aib yang memalukan. Bahkan ada pula orang yang tega mengeksplotasi kaum difabel dengan menjadikan mereka sebagai pengemis. 

Diskriminasi

            Sebagai sesama manusia sudah sepatutnya kita memperlakukan kaum difabel dengan manusiawi. Mereka pun berhak mendapatka perlakuan dan fasilitas yang sama dengan orang yang memiliki fisik normal. Sayangnya, secara sadar maupun tidak sadar, kita melakukan diskriminasi terhadap mereka yang difabel. Perilaku diskriminatif tersebut dapat tergambar  melalui tutur kata  dalam candaan yang menyingung kaum difabel, serta sikap kita saat bertemu dengan kaum difabel.
            Perlakuan yang diskriminatif terhadap kaum difabel sering kali terjadi karena kesalahan persepsi masyarakat kita terhadap perbedaan fisik mereka. Masih banyak diantara kita yang menilai disabilitas adalah sebuah penyakit yang timbul karena karma perbuatan seseorang atau beberapa orang. Ada pula yang orang yang mengucilkan atau berusaha menyingkirkan seorang difabel karena menganggapnya sebagai individu yang tak mampu mandiri dan hanya akan merepotkan orang lain. Padahal mereka (kaum difabel) dapat hidup mandiri jika mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai.
            Saya masih ingat pengalaman ketika bersingungan langsung dengan seorang yang berbeda secara fisik. Ia adalah salah satu teman saya satu kos semasa kuliah dulu. Sepintas penampilan teman itu tampak sama dengan orang normal pada umumnya. Namun jika diperhatikan dengan seksama akan tampak  perbedaan keadaan fisiknya. Telapak kakinya yang sebelah kanan tak dapak menapak dengan baik. Sehingga ia akan terlihat pincang saat berjalan. Selain itu telapak tangannya sebelah kanan juga tak dapat membuka secara lebar, bahkan beberapa jari tangan kanannya juga sedikit bengkok.
            Namun siapa sangka keadaan fisiknya itu sama sekali tidak berpengaruh dengan kesehariannya. Permasalahan dalam kakinya membuat teman kami ini sulit berjalan dengan baik. Langkah kakinya pelan dan terseok-seok. Bahkan ada kalanya ia tiba-tiba terjatuh denggan sendirinya. Tapi ia menolong uluran tangan kami yang ingin membantunya. Dengan usahanya sendiri ia akan bangkit dan segera beridiri. Tangannya juga tak mampu menggenggam secara baik. Sehingga butuh teknik khusus agar benda yang ada di tangannya tak lepas begitu saja. Meski demikian tak sekali pun keluhan meluncur dari mulutnya.
            Sesungguhnya ia adalah penyemangat bagi saya dan teman-teman. Keceriannya selalu membuat kami kerap merindukannya. Ia bahkan kerap membuka talinganya lear-lebar bagi kami yang ingin mencurahkan isi hati kami. Itu sebabnya kami, teman-temannya selalu siap membantunya kapan pun ia membutuhkan pertolongan kami. Tak ada yang mau menyakiti hatinya.
            Sayangnya, pada masa itu fasilitas transportasi kurang mendukung orang-orang yang difabel. Jumlah bus yang melewati area rumah kos kami masih sangat jarang. Terkadang kami harus menunggu selama beberapa lama. Bus sangat padat membuat penumpang sulit bergerak sampai jumlahnya sedikit berkurang. Selain itu, sering kali supir bertindak seenaknya pada penumpang. Mereka kerap kali bertindak tak sabaran pada penumpang. Sehingga wajar saja jika ada beberapa penumpang yang kemudian jatuh saat turun dari bus. karena supirnya yang membawa mobil dengan terburu-buru. Tak dapat saya bayangkan jika teman kami ini menumpang kendaraan umum tersebut. Ia bisa saja celaka akibat tingkah supir bus yang ugal-ugalan tersebut.
            Untung saja teman kami ini masih memiliki paman dan saudara sepupu yang tinggal di pinggiran kota Yogya. Sepupunya tersebutlah yang kerap mengantar jemput teman kami tersebut jika ia membutuhkan kendaraan untuk bepergian jauh. Ada pula teman lain yang bersedia mengantarnya dengan motor untuk pergi ke tempat-tempat tertentu. Selain itu, kami juga kerap membantunya untuk membeli benda-beda tertentu di super market yang  terletak beberapa ratus meter dari rumah kos. Sehingga ia tak perlu mengalami kesulitan menaiki kendaraan umum yang tak nyaman dan tak aman tersebut.
            Namun untuk masalah fasilitas umum bagi kaum difabel  di Kota Yogyakarta ternyata keadaan tak banyak berubah. Nyatanya fasilitas umum di Kota Yogya terbilang masih belum sepenuhnya mendukung kaum difabel. Menurut Prestri Murni (dalam http://jogj.tribunnews.com/2015/15/05/aksesibilitas-transportasi-untuk-difabel-di-kota-yogya-masih-kurang) sebagai Ketua Balitbang Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak fasilitas transportasi umum tak mencukupi bagi kaum difabel. Begitu pun dengan jumlah transportasi umum yang mulai berkurang akibat masyarakat yang lebih mememilih untuk menggunakan kendaraan pribadi dibanding transportasi umum. Selain itu, bentuk pintu halte bus seperti Trans Jogja menyulitkan kaum difabel, termasuk yang berkursi roda untuk  melewatinya.


Gambar: http://jogja.antaranews.com/berita/335781/pemkab-sleman-bentuk-desa-inklusi

 
Harus Didukung

            Kaum difabel adalah manusia yang sama seperti orang yang lainnya. Yang berbeda dari mereka hanya bentuk tubuh atau keadaan fisik mereka. Namun sesungguhnya mereka memiliki potensi untuk menjadi orang yang berhasil. Yang mereka butuhkan ialah dukungan dari kita. Dan bukan ejekan, apalagi hinaan.
            Para kaum difabel juga memiliki perasaan dan pemikiran yang sama dengan kita. Hargai dan hormati mereka dengan cara mendengarkan setiap pendapat mereka. Keadaan fisik mereka mungkin saja membuat aktivitas menjadi tak leluasa. Tapi bukan berarti itu menjadi halangan bukan. Sebagai manusia dewasa sudah sepantasnya kita memperlakukan setiap orang, termasuk kaum difabel secara baik. Karena sesungguhnya setiap manusia adalah sama.

Bagi Anda yang ingin mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai kaum difabel, silahkan cek kitasetara.or.id. Dengan menghargai kaum difabel artinya kita turut menegakkan  hak kemanusiaan mereka.