Selasa, 09 Februari 2021

Akhir Kisah Sebuah Ketulusan

 

Oleh: Susana Febryanty

            “Oke, cut…!” teriakan pria berumur 40 tahunan itu menghentikan adegan mesra yang dilakukan Livy bersama seorang aktor di pinggir pantai. “Akting kalian hari ini bagus sekali, efek dramatisnya dapat. Sekarang kita semua bisa beristirahat, syuting kita lanjutkan lagi sekitar jam 7,” puji sutradara itu sebelum meninggalkan Livy dan aktor muda yang menjadi lawan mainnya itu.

            Tak ingin menyia-nyiakan waktu istirahat yang singkat, Livy berlari kecil mendekati kakaknya, Admadja yang sedang duduk di salah satu gubuk yang berada tak jauh dari lokasi syutingnya barusan. Sesampainya di gubuk itu Livy langsung menghujani kakak lelakinya itu dengan berbagai pertanyaan, “Bang Madja, Handphone-ku mana? Ada telepon yang masuk enggak?”

            “Ya mana gue tahu, handphone-nya kan gue silent. Bisa dimaki-maki sutradara gue kalau sampai suara handphone-nya bocor di kamera,” jawab Madja sambil menyerahkan sebuah ponsel pada sang adik.

            Dengan cepat Livy menyambar handphone warna emas yang diberikan sang kakak. Ia segera menyentuh layarnya. Di layar itu tampak  30 panggilan yang berasal dari Randi Krisnawan, kekasih Livy. Seketika dada Livy terasa berdebar membaca nama kekasihnya itu. Gadis itu pun langsung menghubungi kembali nomor Randi. Sambil berjalan menjauhi Madja ia menunggu jawaban dari seberang.

            “Akhirnya kamu menelepon juga. Kamu kemana aja sih, dari tadi kutelepon enggak diangkat-angkat?!” sambar Randi begitu telepon diangkat.

            “Maaf ya Ran, jadwal syuting hari padat sekali jadi aku enggak sempat untuk pegang HP, suara HP juga harus di silent supaya enggak bocor ikut terakam. Oh ya, bagaimana proses rekaman single terbaru band kalian, lancar kan?”

            “Pastinya lancar, sekarang kami lagi merancang video klipnya. Produser berencana ingin melempar single ini bisa ke pasar luar.”

            Wow, keren! Syukurlah kalau begitu. Aku senang dan bangga dengan peningkatan karirmu dan band, Ran. Kalian memang pantas untuk mendapatkan itu semua. Semoga single kalian laku keras ya,” ucap Livy tulus.

            “Ya, makasih. Tapi ngomong-ngomong, kapan kita bisa ngobrol dan jalan bareng secara bebas,  seperti dulu sih, Livy? Lama-lama aku capek pacaran seperti ini, aku seakan jadi fansmu yang harus rela menunggu perhatian darimu. Padahal aku ingin kita bisa ke tahap yang lebih serius lagi, enggak kayak gini-gini aja.”

            Livy tertegun mendengar perkataan Randi barusan. Ia tak menyangka pacarnya akan mengatakan itu karena selama dua tahun berpacaran dengan Randi tak pernah sekali pun obrolan mereka yang menyinggung rencana pernikahan atau semacamnya.

            Ehm, gini aja deh, kamu selesaikan saja project filmmu dulu. Nanti sesudah kamu selesai syuting dan balik ke Jakarta kita ketemuan untuk membicarakan keputusanmu. Aku mau kamu pilih aku atau karirmu. Udah dulu ya, aku mau lanjut meeting dengan teman-teman band dulu,” ucap Randi sebelum memutuskan sambungan telepon.

            “Kamu sudah bilang kan, ke dia? Lalu, gimana keputusannya? Kamu akan tetap putuskan dia kan?” tanya seorang gadis dengan manja.

            Randi pun memeluk sang gadis dengan gemas. Lalu dia pun berkata, “Tenang saja, Sayang. Aku yakin Livy pasti akan memilih karirnya. Aku paham betul wataknya, dia sangat mencintai karirnya, lebih dari apa pun juga.”

            “Tapi, bagaimana kalau nantinya di malah memilih mundur dari karirnya? Jangan-jangan nanti kamu malah memilih dia daripada aku. Padahal aku sudah berkorban banyak hal untuk hubungan ini. Aku capek harus kucing-kucingan seperti ini.” Kali ini tampak genangan air menggantung di pelupuk mata gadis itu. Wajahnya menampakkan kecemasan dan kekhawatir akan kehilangan lelaki yang dicintainya.

            Laki-laki itu mengambil tangan gadis yang duduk di sampingnya lalu meletakkannya di pangkuannya. Dengan lembut dia pun berkata, “Kamu tenang saja, Sayang. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan pengorbananmu selama ini. Meski di depan publik aku mengakui Livy Anika Putri sebagai pacarku, tapi pada kenyataannya kamu, Ema Wulandari adalah yang sebenar-benarnya kekasih hatiku. Karena kamulah yang selama ini selalu menjadi pendukung setiaku.”

            Randi dan Ema tenggelam dalam rasa buaian cinta yang memabukkan. Tanpa mereka sadari, ada seorang pria yang sedari tadi mendengar dan merekam pembicaraan keduanya. Lelaki itu bahkan sempat memotret kemesraan keduannya tadi. Lelaki itu berusaha menahan amarahnya dengan meremas kuat tisu yang ada di genggamannya. Kata lelaki itu dalam hati, Tega sekali kalian melakukan pengkhianantan di belakang Livy. Tak seharusnya kalian memperlakukan gadis sebaik Livy seburuk ini.

***

            Sementara itu, Livy yang menjalani proses syuting di daerah Jogja kehilangan ketenangannya karena terus memikirkan pilihan yang diberikan oleh Randi, pacarnya. Langit-langit di kamar penginapan menjadi saksi kegelisahan yang meresahkan malam-malamnya. Ia terus membalik-balikkan tubuhnya untuk sekedar bisa tidur, tapi tetap saja mata Livy tak bisa terpejam. Hingga suatu malam ia membuka ponselnya. Gadis itu pun menemukan foto kenangan semasa merayakan ulang tahun Randi. Seketika itu Livy teringat sesuatu, ia pun mengambil sebuah kalender kecil yang tergeletak di atas meja rias. Matanya mengarah pada tanggal 6 Juni.

            “Tanggal 6 Juni tinggal beberapa minggu lagi, itu artinya kepulanganku nanti bertepatan dengan hari ulang tahun Randi. Mungkin ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk memutuskan yang terbaik untuk hubungan kami. Semoga keputusanku nanti bisa menjadi kado terbaik untuknya,” ucap Livy dengan yakin. Setelah itu Livy pun akhirnya bisa tidur dengan tenang.

            “Baik, teman-teman. Terima kasih untuk kerja samanya selama proses syuting film ini. Saya benar-benar puas dengan hasil yang kita dapatkan selama beberapa bulan ini. Semoga ke depannya kita bekerja sama lagi. Sekarang mari kita rayakan kersamaan ini,” ucap Mas Reno Sanjaya, sang sutradara pada saat perayaan syuting terakhir proyek film yang diikuti Livy beberapa bulan terakhir ini.

            “Mungkin ini akan jadi project terakhirku di dunia artis,” kata Livy pada Madja, sang kakak yang duduk di sampingnya.

            “Maksudmu, kamu mau berhenti dari dunia hiburan? Kamu yakin mau melakukan itu, setelah semua perjalanan dan perjuangan panjang yang telah kita lewati selama ini? Bukankah menjadi artis adalah impianmu sejak dulu, lalu kenapa tiba-tiba kamu mau mundur dari sini?” tanya Madja berusaha meyakinkan adiknya.

            “Setiap orang pasti berubah, begitu pun dengan mimpi-mimpi kita. Dulu aku memang sangat berkeinginan untuk menjadi seorang artis kenamanan. Aku bersyukur karena dukungan Bang Madja dan Bunda, ahirnya aku bisa mencapai impianku. Tapi sekarang impianku sudah berubah, Bang. Yang kuinginkan sekarang adalah bisa hidup bahagia bersama orang yang kucintai dan mencintaiku.”

            “Hehehehe. Jangan bilang keputusanmu ini gara-gara Si Randi?”

            Livy hanya terdiam. Ia tak ingin menjawab pertanyaan kakak lelakinya itu. Ia tahu betul watak kakaknya bila tak suka pada orang. Dan, sejak awal Livy berpacaran dengan Randi, Madja secara terang-terangan menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada lelaki itu. Ia tak ingin kakaknya itu akan semakin membenci Randi. Walau bagaimana pun juga, hanya Madja adalah lelaki yang akan menjadi wali yang mengantarkannya menikah. Ia ingin kakaknya bisa merestui pernikahannya dengan Randi suatu ketika nanti.

            Namun sepertinya keputusan Livy itu telah melukai perasaan Admadja. Sejak saat itu lelaki itu bersikap dingin terhadap sang adik. Pembicaraan di antara mereka hanya terjadi seperlunya dan terkesan aku. Bahkan saat perjalanan pulang ke Jakarta pun Madja menghindari adiknya. Lelaki itu bahkan memilih untuk bertukar kursi dengan salah satu kru film agar ia tak sebangku dengan Livy. Gadis itu pun sebenanya menyadari perubahan sikap sang kakak padanya. Ia hanya berpura-pura tak tahu dengan perubahan sikap Madja itu. Ia berharap dengan berjalannya waktu, sang kakak akan mengerti kepurusan yang diambilnya. Karena bagaimana pun, ia berhak untuk berbahagia dengan orang yang ia cintai, yaitu Randi.

            Sesampainya di Bandara Soekarna Hatta Livy segera menghubungi teman-teman satu band Randi lewat telepon. Mereka sepakat untuk menyiapkan acara kejutan ulang tahun untuk Randi di studio sekaligus base camp band The Perky. Dari kejauhan Madja memperhatikan Livy yang sibuk mempersiapkan pesta kejutan untuk Randi. Meski tak terlalu suka, dengan apa yang dilakukan adiknya, tapi ia tetap berharap bahwa Livy akan berbahagia dengan segala keputusannya. Semoga saja Randi tak akan mengecewakan Livy, ucapnya beraharap dalam hati. 

Sumber Foto:

https://id.berita.yahoo.com/20-kata-kata-ulang-tahun-122046760.html


 

***

            Tepat di hari ulang tahun Randi, sejak pagi telah sibuk mempersiapkan pesta ulang tahun sang pacar. Berbagai perlengkapan dari balon, dekorasi penghias ruangan, bahkan kue tart dan bebagai hidangan favorit Randi telah dipesan  sendiri oleh gadis bertubuh langsing itu ke dalam kendaraan city car berwarna merah miliknya. Pada siang harinya, Livy dan teman-teman satu band Randi pun sibuk menghias ruangan studio seapik mungkin.

            Hingga tepat pukul 18:45, saat yang bertepatan dengan jadwal latihan band terdengarlah suara mobil Jeep milik Randi yang datang di depan studio. Livy dan semua teman-teman Randi segera mempersiapkan diri, tak lupa pula mereka mematikan lampu. Lalu, perlahan-lahan suara gagang pitur terdengar diputar dan tampak seorang pria masuk ke dalam ruangan. Serempak semua orang yang ada di dalam ruangan base camp pun berteriak, “Surprize…!”

            Randi tersenyum gembira mendapatkan kejutan dari teman-temannya. Namun saat lampu ruangan dinyalakan, Livy yang sedang memegang kue tart sangat terkejut mendapati Ema, sahabatnya datang bersama Randi, sang kekasih. Meski canggung, Livy berusaha mentupi rasa penasarannya.Sesudah Randi meniup lilin ulang tahun, Livy mesra mencium mesra pipi kekasihnya sambil berkata, “Selamat ulang tahun ya, Sayang. Semoga kamu semakin sukses dan semua impianmu terwujud.”

            Pesta perayaan ulang tahun Randi pun berjalan lancar sesuai dengan rencana Livy dan teman-teman satu bandnya. Sepanjang acara berlangsung, Livy tak pernah sedetik pun meninggalkan pacarnya itu. Ia selalu menemani sang pacar dan memberikan perhatian terbaiknya pada Randi. Satu persatu orang pun pamit pulang.

            “Makasih ya untuk pesta kejutannya. Aku enggak nyangka kalau kamu akan bikin acara kejutan seperti ini untukku. Sekali lagi terima kasih ya, Livy.”

            “Iya, sama-sama. Sebenarnya aku bikin acara ini juga untuk menebus rasa bersalahku terhap kamu. Aku sadar kalau selama ini aku belum menjadi pacar yang baik untukmu. Ucapanmu di telepon waktu itu yang menyadarkanku. Jadi aku putuskan untuk memilihmu. Aku akan meninggalkan karirku di dunia hiburan demi membangun hubungan kita.”

            Mata Randi mendadak terbelalak kala mendengar keputusan Livy. Ia masih tak percaya percaya kalau Livy bisa mengambil keputusan seekstrim itu. Laki-laki usia tigapuluhan itu pun menjadi bimbang. Berbagai tanya hadir di kepala Randi. Haruskah aku meninggalkan kembali pada pelukan Livy? Apa aku sanggup mematahkan hati Livy demi untuk bersatu dengan Ema?  

            Hingga kemudian Randi menangkap sinar mata seorang perempuan yang memandangnya dari kejauhan. Seketika itu juga lelaki itu mantap dengan keputusan yang diambilnya. Lalu ia pun meninggalkan Livy untuk membawa Ema bersamanya. Dengan suara bergetar Randi berkata, “Sekali lagi makasih, Liv untuk semua yang kamu lakukan. Tapi maaf aku sudah putuskan hubungan kita harus berakhir sampai di sini karena aku memilih Ema menjadi kekasihku.”

            Livy ternga-nga mendengat perkataan Randi barusan. Ia sungguh tak percaya akan mendapatkan kenyataan sepahit ini. Kekasih yang selama ini dibangga-banggakannya telah berkhianat dengan sahabatnya. Air mata Livy mengalir deras tanpa bisa ia tahan. Dengan terbata-bata, ia bertanya, “Bagaimana mungkin kalian melakukan ini? Kamu pacarku berkhianat dengan Ema sahabatku. Kenapa kalian setega itu padaku?”

            “Maafkan aku, Livy. Tapi semua terjadi begitu saja. Selama ini kita kehilangan waktu berduaan. Sementara itu, seringnya pertemuan dan kerja sama antara band-ku dan Ema yang pada akhirnya mendekatkan,” jawab Randi sambil tertunduk.

            “Sudahlah, Liv. Toh, semua sudah terjadi. Tak ada yang pernah merencakan semua ini. Kalau pada akhirnya aku dan Randi dekat mungkin memang sudah takdirnya.”

            “Takdir, kamu bilang. Bagaimana bisa kamu mengatakan itu dengan enteng dan tanpa rasa bersalah sama sekali. Kita ini bersahabat, Ma. Aku enggak nyangka kamu bisa tega merebut pacar sahabatmu sendiri.”

            Heh, sahabat?! Sahabat seperti apa maksudmu? Kamu sadar enggak sih, kalau selama ini kamu selalu menjadi sosok yang dipuja-puja banyak orang. Sementara aku seolah-olah hanya pengikutmu saja. Aku capek hanya menjadi bayangan dari Livy Anika Putri. Apa salahnya kalau aku ingin bahagian dengan Randi?”

            Livy tak percaya mendengar perkataan dua orang yang sangat dicintainya itu. Segera ia berlari meninggalkan base camp band The Perky. Ia tak peduli lagi dengan segala hal, termasuk city car yang dibawanya tadi. Tanpa disadari Livy telah berada di jalan raya yang sangat padat oleh kendaraan. Secara perlahan ia mulai menaiki anak tangga jembatan penyeberangan. Di saat itu, seorang lelaki yang membawa motor menangkap sosok Livy dari kejauhan. Entah mengapa, perasaan lelaki itu mengatakan perihal pertanda buruk pada diri Livy.

            Rasa sedih dan kecewa berkecamuk di dada Livy. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia merasa hidupnya tak punya arti lagi. Semua pengorbanannya untuk mundur dari dunia hiburan justru dibalas dengan pengkianatan. Rasa sesal mendorong Livy mengakhiri semua drama kehidupannya. Gadis itu pun meraih tiang pembatas jembatan. Ia berusaha menaiki dinding pembatas jembatan. Hingga akhirnya seorang laki-laki menariknya dari belakang. Livy pun terjatuh dan ia pun tak sadarkan diri.

***

            Saat bangun Livy sudah berada di kamarnya. Di sana ada Bunda yang duduk di sisi samping tempat tidurnya. Tampak pula di sana Madja dan Zio. Perlahan-lahan memori terakhirnya kemarin malam pun bermunculan. Ia ingat betul terakhir ada sosok lelaki yang menariknya saat dirinya hendak memanjat pembatas jembatan penyebrangan. Ternyata lelaki itu adalah Zio, sahabat Madja.

            Setelah itu, perilaku Livy mengalami perubahan. Ia yang sebelumnya ceria, kini berubah menjadi pendiam. Madja dan Bunda pun berusaha melakukan berbagai cara untuk bisa mengembalikan keceriaan Livy, tapi tetap saja berdampak. Untungnya Madja berhasil mendapatkan beberapa kontrak pekerjaan untuk Livy. Setidaknya dengan melakukan pekerjaan yang menjadi passion-nya, gadis itu bisa sejenak melupakan masalah percintaannya yang telah karam. Walaupun setelah itu, Livy kembali mengurung dirinya sendiri di dalam kamar.

            Tak ingin hal itu terus terjadi, Madja pun menghubungi Zio. Kata Madja pada Zio, “Aku tahu kalau selama ini kamu menyimpan rasa kagum pada adikku, Livy. Kalau memang kamu mencintainya, aku rasa ini adalah saat yang tepat untukmu mengungkapkannya. Sebentar lagi ulang tahunnya, kita bisa merayakan ulang tahunnya bersama-sama di rumah.”

            Beberapa hari kemudian, seperti hari-hari sebelumnya, Livy memilih untuk mengurung diri di dalam kamar. Kesempatan itu pun digunakan oleh Madja, Bunda dan Zio menyiapkan acara khusus untuk Livy di lantai bawah. Setelah semua dipersiapkan, Madja pun mendatangi kamar Livy yang berada di lantai dua. Saat itu Livy sudah bersiap untuk tidur.

            Madja menyembur masuk ke dalam kamar Livy. Tak nyaman dengan perilaku sang kakak, Livy pun segera protes dengan menunjukkan wajah cemberut. Tak ingin rencananya gagal, Mada pun langsung membujuk sang adik.

            “Jelek banget sih, adik Bang Madja kalau sudah manyun seperti itu. Ayo dong, jangan manyun terus. Mending kamu dandan yang cantik, terus gabung dengan aku sama Bunda di bawah. Abang yakin habis ini kamu pasti langsung happy. Pokoknya sekarang kamu dandan yang cantik. Kami tunggu di bawah ya.”

            Meski kesal dengan kelakuan Madja, tapi tetap saja Livy tak bisa membantah ucapan sang kakak. Buat Livy, Madja lebih dari sekedar kakak lelaki. Madja sudah seperti ayahnya. Sejak ayah meninggal 20 tahun yang lalu, Madja selalu menjadi sosok pelindung buat Livy. Itu sebabnya ia merasa bersalah pada Madja karena selama ini tak pernah mau mendengarkan nasihat sang kakak mengenai sosok Randi yang dipacari.

            Selekas berdandan, Livy segera keluar dari kamar. Namun ia mendapati area di lantai bawah tampak gelap. Hanya ada sinar lampu dari luar yang menerangi rumah itu. Livy mulai sangsi dengan perkataan Madja barusan. Lalu ia pun meneruskan perjalanannya ke lantai bawah. Sambil melangkah pelan, Livy memanggil, “Bunda, Bang Madja, kalian dimana?”

            Di saat kaki Livy menapak di lantai bawah, ia dikejutkan oleh suara teriakan, “Kejutan!” Tak lama kemudian lampu di ruang tengah itu pun menyala. Di sana Bunda yang sedang memegang kue tart ulang tahun berwarna coklat. Di belakang Bunda tampak pula Bang Madja bersama Zio, sahabatnya. Kenapa juga harus ada Zio di acara ini? tanya Livy dalam hati.

            Setelah potong kue dan pembacaan doa dari Bunda untuk Livy. Setelah itu, mereka menikmati hidangan makan malam buatan Bunda. Saat semua Bunda dan Zio tengah asyik berbincang, Livy pun menarik tangan kakaknya ke arah belakang.

            “Kenapa sih, harus ada temanmu itu di antara kita? Ini kan, acara keluarga kita,” tanya Livy pada Madja.

            “Kenapa memangnya kalau dia ada di sini. Kamu selama ini selalu mengagung-agungkan Randi padahal lelaki itu telah mengkhianatimu dengan sahabatmu sendiri. Sementara tanpa kamu sadari ada seseorang yang sungguh-sungguh sayang padamu. Asal kamu tahu, aku dan Zio sudah beberapa kali mendapati mantanmu itu berjalan berduan dengan Si Ema. Zio bahkan punya rekaman dan foto-foto kemesraan mereka. Tadinya aku mau menunjukkan itu padamu. Tapi Zio menahanku, dia bilang kamu berhak untuk memilih kebahagiaanmu sendiri. Harusnya kamu membuaka matamu dan tidak terus-terusan memikirkan buaya darat bernama Randi itu.”

            Livy hanya bisa diam terpaku mendengar ucapan Madja. Berbagai kenangan masa remaja yang dihabiskannya bersama Zio seakan mengingatkan perhatian laki-laki itu padanya. Zio memang bukan tipe pria romantis yang pandai merangkai kata dan berprilaku manis selayaknya Randi. Tapi Zio selalu hadir di masa-masa sulit yang dialaminya. Lelaki itu selalu siap membantu Livy kapan pun ia membutuhkan. Mendadak hatinya terasa hangat mengingat itu semua.

            Setelah perayaan ulang tahun Livy berakhir, semua kembali kembali ke kamarnya masing-masing. Livy dan Bi Inah masih tinggal di dapur membereskan beberapa peralatan yang telah digunakan. Setelah semua tampak rapi, Livy pun segera menyuruh Bi Inah untuk beristrahat. Tak lama setelah Bi Inah pergi, Livy mengambil sebuah mug dan mengisinya dengan susu coklat kesukaannya. Saat Livy sedang mengisi air panas ke dalam mug yang telah berisi susu coklat, tiba datang seorang pria yang mengejutkannya.

            “Sorry kalau gue ngagetin lu. Gue cuma mau ngasih ini. Selamat ulang tahun ya, semoga lu selalu bahagia,” kata Zio sambil meletakkan sebuah kotak kado di atas meja makan.

            “Thank you, ya Zio. Ngomong-ngomong, gue lagi bikin susu coklat, lu mau?”

            “Enggak usah, makasih. Gue cuma mau ngomongin tentang perasaan yang gue simpan selama ini. Gue sayang sama lu. Itu aja,” ucap Zio terburu-buru.

            “Tunggu, lu cuma bilang sayang ke gue, Memangnya lu enggak pengen tahu perasaan gue ke lu? Perasaan gue ke lu mungkin tidak sedalam yang lu rasakan ke gue. Tapi sekarang gue sadar, sebenarnya yang gue butuhin itu adalah sosok laki-laki kayak lu, bukan kayak Randi atau laki-laki lain. Kalau memang lu sayang sama gue, please jangan tinggalkan gue.”

            Tak percaya dengan apa yang didengarnya, Zio segera membalikkan badannya menghadap ke arah Livy. Gadis itu  terlihat menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar. Zio pun berlari semakin mendekat ke arah Livy hingga keduanya pun berpelukan dalam bahagia.

            Pada akhirnya, cinta yang tulus akan menyatukan dua hati dalam satu ikatan suci. Mereka yang mengasihi dengan tulus ikhlas akan dipertemukan dengan pasangan yang sepadan dengannya. Meski terkadang jalan yang harus dilalui terkadang tak mudah. Ada luka dan air mata yang kerap kali menjadi awalan yang menyakitkan. Namun percayalah, buah kebaikan akan selalu membawa kebaikan pula. 

 

 

Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel" dan dilink ke www.gandjelrel.com .

www.gandjelrel.com