Selasa, 26 Maret 2019

Ngakunya Sih Sahabat..! Sebuah Evaluasi Diri akan Makna Persahabatan


Saat kehidupan berjalan baik-baik saja semua orang pastinya akan dengan senang hati datang dan bergaul dengan kita. Bahkan tak sedikit yang ‘mengaku’ dirinya sebagai sahabat kita. Lalu, apa jadinya bila hidup kita dirundung persoalan, masihkah keadaan berjalan sebagaimana mestinya?

            Manusia selain sebagai makhluk individu, ia juga merupakan makhluk sosial. Maka wajarlah jika kita sebagai manusia normal membutuhkan orang lain. Itu sebabnya kita perlu melakukan interaksi dan menjalin hubungan dengan orang lain.
            Diantara berbagai hubungan antar manusia yang terjalin, pasti ada ikatan yang kemudian terpilih menjadi hubungan bernama persahabatan. Persabatan merupakan sebuah hubungan yang terjalin layaknya saudara atau keluarga meski ia tak berasal dari tetesan darah yang sama. Namun, benarkah semua yang mengaku sahabat itu benar-benar tulus adanya?




Ujian Kehidupan
            Tulisan ini saya tulisan karena terinspirasi oleh berbagai pertanyaan dan evaluasi diri yang muncul setelah mengalami persoalan yang berkaitan dengan pertemanan dan persahabatan. Semua berawal dari keadaan keadaan yang kurang mengenakkan yang saya alami setahun belakangan ini. Saat itu saya tengah menjalin pertemanan yang cukup karib dengan dua orang perempuan.
            Saya masih ingat masa-masa yang kami habiskan untuk saling berbagi cerita. Lebih tepatnya, saya lebih sering memposisikan sebagai tong sampah dengan menyediakan telinga untuk mendengarkan cerita dan keluhan-keluhan mereka. Meski tubuh terasa lelah dan penat, saya rela menyempatkan waktu khusus demi orang-orang yang katanya ‘sahabat’ tersebut. Bahkan, tak jarang hujan dan badai pun ku terjang demi menemui mereka. Semua pengorbanan yang (bagi saya saat itu) rasanya layak dilakukan demi hubungan bernama ‘persahabatan’.
            Sebuah pepatah mengatakan bahwa, “Segala sesuatu akan diuji.” Pada akhirnya saya pun membuktikan makna pepatah tersebut ketika saya harus menghadapi ujian demi ujian kehidupan. Sejujurnya, berbagai kesukaran itu membuat kaki saya gontai untuk melangkah. Saya pun seolah kehilangan arah dan tak tahu harus berbuat apa.
            Saya mencoba melihat sekeliling. Yang saya lihat dan harapkan adalah sahabat-sahabat tersebut akan mendukung saya dengan tetap berada di samping saya untuk melewati masa-masa sulit ini. Sebuah rencana pun  sempat tercetus untuk pergi berlibur dan menyepi bersama demi menemukan ‘pencerahan’. Namun ternyata H-1 di waktu yang telah ditetapkan mendadak rencana itu dibatalkan oleh salah satu dari orang yang mengaku sahabat tersebut.  Dan sahabat yang satu lagi juga ikut-ikutan membatalkan rencana kami. Alhasil, saya pun harus mengubah rencana. Dengan terpaksa saya harus berangkat dan melanjutkan rencana ‘piknik’ sendirian.
            Dengan segala daya dan upaya saya berusaha untuk menepis rasa kecewa pada kedua orang yang katanya ‘sahabat’ tersebut. Saya berusaha memaafkan dan berisikap senormal mungkin terhadap keduanya. Ajakan nongkrong bareng  masih saya terima dengan senang hati. Bahkan, saat salah seorang dari mereka meminjam sejumlah uang, saya pun tetap berusaha untuk memenuhi permintaannya.
            Namun  ternyata rasa kecewa yang sudah terlanjur ada di dada nyatanya tak mudah untuk dihilangkan. Sikap nereka malah semakin menjadi-jadi. Mereka seolah menunjukkan sikap manis hanya saat membutuhkan bantuan. Sementara itu, ketika temannya tengah dirundung kesususahan mereka seakan tak mau tahu. Saya merasa seperti dicampakkan layaknya sampah yang tak lagi punya nilai bagi mereka. Hal ini tentunya membuat saya bertanya-tanya, “Apakah masih ada persahabatan sejati di dunia ini?”

Sebuah Pelajaran 
            Pada kenyataanya, kejadian semacam itu bukan pertama kali terjadi dalam hidup saya. Beberapa kali saya harus merasakan sakitnya ditinggalkan saat hidup tengah merana. Belum lagi rasa pahit yang saya telan karena pengkhianatan dari orang-orang yang saya percayai. Namun semua itu tak lantas membuat saya harus patah arang menjalani hidup. Beberapa bulan ini pun saya mulai merenungkan makna di balik peristiwa-peristiwa menyakitkan ini.
            Seperti kata pepatah yang mengatakan, “Carilah, maka akan kau dapatkan,” saya pun akhirnya menemukan beberapa pelajaran berharga. Pertama, “Cintailah dirimu dahulu sebelum kau mencintai orang lain. Saya menyadari bahwa penyebab terjadinya semua peristiwa menyakitkan itu adalah diri saya sendiri. Keinginan untuk selalu diterima dan dicintai oleh semua orang membuat saya rela berkorban apapun demi orang lain. Padahal tak semua orang rela melakukan hal yang sama dengan apa yang saya lakukan. Bahkan tak sedikit orang yang egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa peduli dengan nasib orang lain.
            Peristiwa-peristiwa tersebut juga menyadarkan saya bahwa tenyata saya masih bodoh dalam menilai orang. Dengan mudahnya saya tertipu oleh manisnya ucapan dan sikap seseorang yang ternyata berbuat demikian hanya karena ada maunya saja. Hal ini tentunya membuat saya harus semakin berhati-hati dalam menjalin pertemanan. Karena pada akhirnya bukan jumlah teman yang terutama, tapi kualitas pertemanan yang seling mendukung dan menopanglah yang terpenting dalam hidup.
            Dan satu yang terpenting yang saya temukan dari semuanya itu ialah, “Jangan pernah berharap atau berekspektasi pada siapapun atau apapun juga. Karena pada akhirnya kau hanya akan menemukan kecewa jika kau menaruh harapan pada seseorang atau pada sesuatu. Tetapi letakkanlah seluruh harapanmu hanya pada Tuhan semata.”
            Meski berat, saya belajar untuk melepaskan dan mengikhlaskan semuanya hanya pada Sang Maha Kuasa. Salah satu langkah yang saya pilih adalah mulai menjaga jarak dan menghapuskan pertemanan di media sosial dan dunia nyata dengan mereka. Hal tersebut saya lakukan bukan atas dasar rasa benci tapi semata-mata karena saya menghargai diri saya sendiri. Dan saya bersyukur Tuhan menghadirkan orang-orang yang berenergi positif untuk menggantikan posisi mereka di keseharian saya saat ini. Semoga kita semua bisa menghargai nilai sebuah persahabatan. Karena nilai sebuah persahabatan tak semurah kepentingan dan egoisme diri kita masing-masing. (SF)