Saat kehidupan berjalan baik-baik saja semua orang
pastinya akan dengan senang hati datang dan bergaul dengan kita. Bahkan tak
sedikit yang ‘mengaku’ dirinya sebagai sahabat kita. Lalu, apa jadinya bila
hidup kita dirundung persoalan, masihkah keadaan berjalan sebagaimana mestinya?
Manusia selain sebagai makhluk
individu, ia juga merupakan makhluk sosial. Maka wajarlah jika kita sebagai
manusia normal membutuhkan orang lain. Itu sebabnya kita perlu melakukan
interaksi dan menjalin hubungan dengan orang lain.
Diantara berbagai hubungan antar
manusia yang terjalin, pasti ada ikatan yang kemudian terpilih menjadi hubungan
bernama persahabatan. Persabatan merupakan sebuah hubungan yang terjalin
layaknya saudara atau keluarga meski ia tak berasal dari tetesan darah yang
sama. Namun, benarkah semua yang mengaku sahabat itu benar-benar tulus adanya?
Ujian
Kehidupan
Tulisan ini saya tulisan karena
terinspirasi oleh berbagai pertanyaan dan evaluasi diri yang muncul setelah
mengalami persoalan yang berkaitan dengan pertemanan dan persahabatan. Semua
berawal dari keadaan keadaan yang kurang mengenakkan yang saya alami setahun
belakangan ini. Saat itu saya tengah menjalin pertemanan yang cukup karib
dengan dua orang perempuan.
Saya masih ingat masa-masa yang kami
habiskan untuk saling berbagi cerita. Lebih tepatnya, saya lebih sering
memposisikan sebagai tong sampah dengan menyediakan telinga untuk mendengarkan
cerita dan keluhan-keluhan mereka. Meski tubuh terasa lelah dan penat, saya
rela menyempatkan waktu khusus demi orang-orang yang katanya ‘sahabat’
tersebut. Bahkan, tak jarang hujan dan badai pun ku terjang demi menemui
mereka. Semua pengorbanan yang (bagi saya saat itu) rasanya layak dilakukan
demi hubungan bernama ‘persahabatan’.
Sebuah pepatah mengatakan bahwa,
“Segala sesuatu akan diuji.” Pada akhirnya saya pun membuktikan makna pepatah
tersebut ketika saya harus menghadapi ujian demi ujian kehidupan. Sejujurnya,
berbagai kesukaran itu membuat kaki saya gontai untuk melangkah. Saya pun
seolah kehilangan arah dan tak tahu harus berbuat apa.
Saya mencoba melihat sekeliling.
Yang saya lihat dan harapkan adalah sahabat-sahabat tersebut akan mendukung
saya dengan tetap berada di samping saya untuk melewati masa-masa sulit ini.
Sebuah rencana pun sempat tercetus untuk
pergi berlibur dan menyepi bersama demi menemukan ‘pencerahan’. Namun ternyata
H-1 di waktu yang telah ditetapkan mendadak rencana itu dibatalkan oleh salah
satu dari orang yang mengaku sahabat tersebut.
Dan sahabat yang satu lagi juga ikut-ikutan membatalkan rencana kami.
Alhasil, saya pun harus mengubah rencana. Dengan terpaksa saya harus berangkat
dan melanjutkan rencana ‘piknik’ sendirian.
Dengan segala daya dan upaya saya
berusaha untuk menepis rasa kecewa pada kedua orang yang katanya ‘sahabat’
tersebut. Saya berusaha memaafkan dan berisikap senormal mungkin terhadap
keduanya. Ajakan nongkrong bareng
masih saya terima dengan senang hati. Bahkan, saat salah seorang dari
mereka meminjam sejumlah uang, saya pun tetap berusaha untuk memenuhi
permintaannya.
Namun ternyata rasa kecewa yang sudah terlanjur ada
di dada nyatanya tak mudah untuk dihilangkan. Sikap nereka malah semakin
menjadi-jadi. Mereka seolah menunjukkan sikap manis hanya saat membutuhkan
bantuan. Sementara itu, ketika temannya tengah dirundung kesususahan mereka
seakan tak mau tahu. Saya merasa seperti dicampakkan layaknya sampah yang tak
lagi punya nilai bagi mereka. Hal ini tentunya membuat saya bertanya-tanya,
“Apakah masih ada persahabatan sejati di dunia ini?”
Sebuah Pelajaran
Pada
kenyataanya, kejadian semacam itu bukan pertama kali terjadi dalam hidup saya.
Beberapa kali saya harus merasakan sakitnya ditinggalkan saat hidup tengah
merana. Belum lagi rasa pahit yang saya telan karena pengkhianatan dari
orang-orang yang saya percayai. Namun semua itu tak lantas membuat saya harus
patah arang menjalani hidup. Beberapa bulan ini pun saya mulai merenungkan
makna di balik peristiwa-peristiwa menyakitkan ini.
Seperti kata pepatah yang
mengatakan, “Carilah, maka akan kau dapatkan,” saya pun akhirnya menemukan beberapa
pelajaran berharga. Pertama, “Cintailah dirimu dahulu sebelum kau mencintai
orang lain. Saya menyadari bahwa penyebab terjadinya semua peristiwa
menyakitkan itu adalah diri saya sendiri. Keinginan untuk selalu diterima dan
dicintai oleh semua orang membuat saya rela berkorban apapun demi orang lain.
Padahal tak semua orang rela melakukan hal yang sama dengan apa yang saya
lakukan. Bahkan tak sedikit orang yang egois dan hanya mementingkan dirinya
sendiri tanpa peduli dengan nasib orang lain.
Peristiwa-peristiwa tersebut juga
menyadarkan saya bahwa tenyata saya masih bodoh dalam menilai orang. Dengan
mudahnya saya tertipu oleh manisnya ucapan dan sikap seseorang yang ternyata
berbuat demikian hanya karena ada maunya saja. Hal ini tentunya membuat saya
harus semakin berhati-hati dalam menjalin pertemanan. Karena pada akhirnya
bukan jumlah teman yang terutama, tapi kualitas pertemanan yang seling
mendukung dan menopanglah yang terpenting dalam hidup.
Dan satu yang terpenting yang saya
temukan dari semuanya itu ialah, “Jangan pernah berharap atau berekspektasi
pada siapapun atau apapun juga. Karena pada akhirnya kau hanya akan menemukan
kecewa jika kau menaruh harapan pada seseorang atau pada sesuatu. Tetapi
letakkanlah seluruh harapanmu hanya pada Tuhan semata.”
Meski berat, saya belajar untuk
melepaskan dan mengikhlaskan semuanya hanya pada Sang Maha Kuasa. Salah satu langkah
yang saya pilih adalah mulai menjaga jarak dan menghapuskan pertemanan di media
sosial dan dunia nyata dengan mereka. Hal tersebut saya lakukan bukan atas
dasar rasa benci tapi semata-mata karena saya menghargai diri saya sendiri. Dan
saya bersyukur Tuhan menghadirkan orang-orang yang berenergi positif untuk
menggantikan posisi mereka di keseharian saya saat ini. Semoga kita semua bisa
menghargai nilai sebuah persahabatan. Karena nilai sebuah persahabatan tak
semurah kepentingan dan egoisme diri kita masing-masing. (SF)