Oleh:
Susana Febryanty
Hidup bagaikan sebuah petualangan
yang penuh dengan misteri yang tak terduga. Tiada satu pun yang dapat menduga
kejutan-kejutan apa yang ia peroleh. Ada kalanya bahagia itu menghampiri. Namun
bisa saja kesedihan itu muncul tanpa diundang.
Tak ada yang dapat menduga surat
takdir kehidupan. Begitupun dengan keluarga besar Kasih. Beberapa hari yang
lalu, mereka baru saja mengadakan acara kumpul-kumpul keluarga. Canda tawa
menghiasi acara waktu itu. Tapi hari ini kecerian tak tampak lagi, yang ada
hanyalah kemuraman yang menghiasi wajah-wajah itu.
Suara sirene ambulan mengaung dengan
keras, membawa rombongan keluarga yang sedang berduka memasuki halaman sebuah rumah. Tak lama kemudian beberapa
orang keluar dari mobil. Rumah besar bergaya Joglo itu tampak ramai oleh
orang-orang yang berkumpul di sana. Saat keranda dikeluarkan dari ambulan
beberapa orang laki-laki nampak sibuk mengurus jenazah tersebut. Sementara yang
lain langsung menghampiri rombongan yang baru saja tiba.
Kasih, dan kedua anaknya saling
berangkulan memasuki rumah. Selama beberapa menit ia menerima ucapan
belasungkawa dari tetangga dan kerabatnya. Setelah itu ia pergi ke sebuah kamar yang terletak tak jauh dari
ruang tamu rumah itu. Ia dorong sedikit pintunya. Di kamar itu tampak seorang
perempuan tua berusia senja yang duduk di ranjang empuknya. Pandangan matanya
tampak kosong.
Perempuan berambut panjang itu mengetuk pelan
pintu kamar lalu tanpa menunggu aba-aba ia pun masuk ke dalam. “ Bu, ” panggilnya.
Langsung saja ia menduduki pinggiran ranjang sang ibu.
“Oalah, kamu tho. Kapan kamu pulang dari Semarang? Piye kuliahmu, Nduk?”
Ternyata
saat ini di pikiran Ibu aku masih berkuliah. Yang penting Ibu masih ingat kalau aku ini anaknya. Kasih mengambil
tangan kanan ibunya lalu menciumnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan
tangis. Ia tak mau membebani pikiran ibunya dengan kesedihan yang terjadi.
Ia paksakan diri untuk tersenyum
pada sang ibu sambil berkata, “Ibu sudah makan?”
“Makan? Tadi ibu makan sama bapak.
Tapi sekarang ibu pengen makan bareng kamu. Sejak kamu kuliah di Semarang kita
nggak pernah makan bareng lagi.”
Kasih memandang iba pada sang ibu.
Kembali ia menghela napasnya. Pasti
ingatan Ibu terganggu lagi. Bagaimana mungkin Ibu makan dengan Bapak, sementara
sejak pagi bapak sudah di rumah sakit kerena serangan jantung. Ibu juga masih
mengira kalau aku masih kuliah di Semarang. Kasihan sekali ibuku. Entah apa
yang dipikirkannya jika ia mengetahui tentang meninggalnya Bapak.
“Ya, sudah. Kasih ambilkan makanan
buat Ibu dulu, ya. Biar kita bisa makan
dan ngobrol-ngobrol lagi,” katanya pada sang ibu. Ibu menganggukkan kepala
beberapa kali.
Ia bangkit dari tempat tidur lalu berjalan beberapa
meter dari ranjang kayu itu. Kasih
mengelus lembut rambut kedua anaknya yang tengah duduk di kursi kayu yang ada
di depan pintu kamar. Kemudian ia berkata, “Kalian di sini saja. Jaga Eyang
Putrinya ya, Sayang.” Perempuan itu
memang sengaja menjauhkan bocah-bocah tersebut dari neneknya. Ia
khawatir sang nenek tak mengenali cucunya dan mulai bertanya mengenai mereka.
“Iya, Bunda,” jawab kedua bocah itu
serempak. Kasih tersenyum pada mereka. Ia bangga dengan anak-anaknya yang
sangat pengertian akan kondisi orang tuanya.
Saat Kasih keluar, beberapa orang
telah menunggunya di luar kamar. Mereka adalah Bowo dan Wangi, kedua kakaknya.
Di situ ada pula Banyu suaminya. Wajah ketiganya tampak begitu serius.
Sepertinya ada hal serius yang ingin mereka bicarakan dengan perempuan itu.
“Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Mas
Bowo sambil mengintip ke dalam kamar.”
“Ya, begitulah Mas. Pikiran Ibu
mulai menurun. Tadi saja aku dikira masih kuliah di Semarang. Mana Ibu
bilangnya tadi makan bareng Bapak. Padahal kan, dari pagi Bapak sudah dibawa ke
rumah sakit.”
“Gimana ini Mas? Masa Ibu dibawa ke
pemakaman? Nanti malah kenapa-kenapa lagi,” tanya Wangi mendesak Bowo.
Sesaat mereka pun terdiam. Kemudian
Bowo berkata, “Begini saja, Kasih kamu
dan Ibu tinggal di rumah saja, nggak usah ikut pemakaman. Aku khawatir sama
keadaan Ibu. Takutnya malah terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan.”
“Apa nggak sebaiknya Ibu ikut ke
pemakaman, Mas? Biar bagaimanapun Ibu itu kan istrinya Bapak. Pastinya beliau
ingin melepaskan suaminya untuk terakhir kalinya.”
“Aku paham maksudmu. Tapi dengan
kondisi Ibu yang seperti ini rasanya nggak mungkin Ibu dibawa ke pemakaman.
Coba bayangkan bagaimana kalau nanti tiba-tiba histeris di sana. Mana di sana
tempatnya nggak nyaman. Malah nanti bikin kondisi Ibu makin ngedrop.”
“Ya, sudah kalau memang seperti itu
keputusannya.” Kasih pasrah dengan semua keputusan kakak-kakaknya itu. Toh, suaranya tak berarti di rumah ini.
Ia hanya dianggap anak bawang bagi mereka.
***
Mentari bersiap memasuki peraduannya
kala keluarga itu kembali dari pemakaman. Kasih tersentak saat melihat sang
suami sudah berdiri di samping ranjang Ibu. Sedari tadi pikirannya melayang
entah kemana. Sementara sang ibu sedang tidur nyenyak bak bayi. Banyu tersenyum
hangat pada istri yang dikasihinya itu.
“Gimana keadaan Ibu?”
“Seperti kamu lihat, Ibu tidur
nyenyak setelah makan tadi.”
Banyu menyandarkan punggungnya di
diding kamar. Matanya menatap ke arah sang ibu mertua. Lalu sebuah pertanyaan
meluncur dari bibirnya. “Apa Ibu sudah sadar kalau Bapak sudah nggak ada?”
“Sepertinya belum, Mas. Malah tadi
Ibu bilang kalau Bapak lagi ke kampus untuk mengajar. Entahlah Mas, bagaimana
nasib Ibu setelah kepergian Bapak? Apa mungkin kedua kakakku mau mengurus Ibu
dengan kondisi ia menderita Alzheimer? Kok, rasanya aku sangsi ya.”
“Ya, sudah. Nggak usah kita
pikirkan. Nanti juga kita tahu bagaimana keputusan mereka. Kita kan cuma bisa
menunggu.”
***
Malam harinya, para tamu mulai
meninggalkan rumah keluarga besar Kasih. Bowo mengumpulkan para adik dan iparnya
diruang keluarga. Seluruh anggota keluarga, kecuali sang ibu berkumpul di sana.
Sebelumnya anak sulung itu memastikan terlebih dulu bahwa sang ibu telah
nyenyak dalam tidurnya.
Bowo memandangi ke seluruh anggota
keluarganya sambil menghitung dalam hati. Ia kembali memastikan dengan
bertanya, “Sudah lengkap semua kan?” Anggukan kepala Wangi menjadi jawaban yang
diinginkan oleh pria itu.
“Jadi
begini, saya mengumpulkan kita semua untuk mendiskusikan masalah nasib Ibu
selanjutnya. Seperti yang kita ketahui sekitar setahun yang lalu Ibu divonis
menderita Alzheimer oleh dokter. Dengan meninggalnya Bapak, kita harus
memikirkan bagaimana nasib Ibu selanjutnya. Kita kan tahu saat Ibu butuh
perhatian ekstra. Beliau tidak mungkin ditinggalkan sendirian di rumah ini, ya
walaupun memang ada beberapa orang pembantu di sini. Jadi bagaimana pendapat
kalian?”
Untuk beberapa saat semua tampak
diam merenungkan pembicaraan Bowo barusan. Hingga tiba-tiba Wangi bersuara,
“Kalau aku, jujur saja rasanya nggak mungkin mengurus Ibu. Ya, kalian semua kan
tahu aku dan suamiku tinggal bersama mertua. Kami masih harus mengurus kedua
mertuaku. Jadi kalau ditambah dengan Ibu, hmm… Rasanya kami nggak sanggup deh.”
“Bagaimana ini, Mah?” bisik Bowo
pada istrinya yang duduk di sampingnya.
“Kita juga nggak mungkin merawat
Ibu. Papa kan baru dipromosikan jadi
direktur. Pastinya Papa sibuk terus sama kantor. Aku juga kan kerja, Pah. Jadi
Ibu bisa-bisa nggak keurus kalau beliau tinggal bersama kita. Atau Ibu kita
masukkan saja ke Panti Jompo. Di sana kan
ada banyak suster dan dokter yang bisa merawat dan memperhatikan Ibu dengan
baik.”
Banyu tampak kanget dengan usulan
dari istri Bowo barusan. Pria itu keberatan jika mertuanya dimasukkan di dalam
Panti Jompo. Kenapa Ibu harus dimasukkan
ke dalam Panti Jompo? Padahal beliau masih memiliki anak dan menantu. Tega
sekali Iparku ini mengusulkan itu. Apa dia tahu rasa sakit saat dibuang oleh
keluarga sendiri? Ya, Tuhan jangan biarkan hal ini menimpa Ibu mertuaku. Cukup
aku saja yang merasakan sakitnya terbuang di Panti Asuhan dulu.
Lalu Bowo mengarahkan pandangannya
pada adik bungsunya. Ia bertanya, “Bagaimana dengan kamu, Sih? Sepertinya kamu
yang paling bisa merawat Ibu. Kamu bukan orang yang sangat sibuk. Selama ini
kan, kesibukan kamu hanya mengurus keluargamu dan membantu Bapak di pabrik batik milik Ibu. Lagi pula, rasanya
pantaslah kalau kamu yang mengurus Ibu saat ini. Hitung-hitung menebus
kesalahan kamu pada Ibu di masa lalu.”
Kasih menatap tajam ke arah kakak
tertuanya itu. Ia menggigit keras bibirnya, mencoba menahan kata yang ingin
terucap. Matanya mulai tampak berkaca-kaca. Sekuat tenaga ia berusaha menahan
tangisnya. Meski batinnya merintih dengan keras.
Apa
maksud Mas Bowo mengungkit kisah masa lalu kami? Kenapa ia masih saja tak bisa
menghargai Mas Banyu sebagai suamiku? Bapak saja dari dulu merestui pernikahan
kami. Memang dulu Ibu tak menyetujui pernikahan kami, tapi toh kami bisa
membuktikan niat baik kami dengan pernikahan ini. Buktinya, lama-lama Ibu juga
bisa menerima Mas Banyu sebagai menantunya. Tapi kenapa sekarang Mas Bowo malah
mengungkit masala itu lagi?
Kasih pun bangkit dari duduknya dan
segera berdiri. Dengan suara bergetar ia berkata, “Semua keputusan saya
serahkan sama Mas Banyu. Saat ini dia adalah imam saya. Apa pun yang dia
putuskan akan saya ikuti. Saya mau lihat Ibu dulu di kamar. Permisi.” Perempuan
itu pun meninggalkan ruangan keluarga dan bergegas menuju kamar sang ibu.
“Jadi bagaimana, Banyu?”
“Saya tidak keberatan jika memang
kami harus merawat Ibu.” Suara Banyu terdengar pelan namun tegas. Sepertinya ia
telah mantab dengan keputusannya.
“Bagus kalau begitu. Sebaiknya
kalian segera pindah ke rumah ini. Lebih cepat lebih baik. Biar ada yang
mengurus Ibu. Untuk biaya perawatan Ibu, nggak usah khawatir. Nanti aku dan
Wangi yang akan urunan. Dengan gajimu sebagai guru mana mungkin kalian bisa
menanggung biaya perawatan Ibu. Kamu bisa menanggung anak istrimu saja sudah
bagus.”
Banyu hanya bisa terdiam mendengar perkataan kakak iparnya
itu.
|
Gambar dari: https://hellosehat.com/ |
***
Pertemuan keluarga berakhir, Banyu
langsung menemui anak istrinya yang tidur di kamar sang mertua. Sang ibu mertua
tampak pulas di ranjang kayu. Sedangkan anak-anaknya tidur di kasur yang
digelar di lantai tepat di samping ranjang
itu. Kasih masih terjaga. Ia mengawasi tidur malaikat kecilnya itu. Sang suami
mendekati istrinya.
“Pertemuannya sudah selesai tho, Mas? Gimana keputusannya?” Wajah
Kasih menyiratkan rasa penasaran yang sangat besar.
“Ibu, kita yang merawat.”
“Aku nggak keberatan, Mas. Yang aku
pikirkan, bagaimana dengan anak-anak? Apa mereka bisa memahami keadaan eyang
putrinya. Mas kan tahu bagaimana
kondisi Ibu. Ibu itu kena Alzheimer. Ingatannya mengalami penurunan. Kadang
beliau ingat, kadang malah kayak orang bingung. Sudah begitu, kondisi emosinya
juga naik turun. Apa anak-anak mampu menerima keadaan eyangnya?”
Banyu tersenyum pada sang istri. Ia
mencoba menenangkan perasaan Kasih. Istrinya itu ia rangkul lalu lembut
bahunya dibelai lembut. Katatanya,
“Tenang saja, Bun. Kita punya anak-anak yang pandai. Aku percaya mereka akan
mengerti dengan situasi yang kita hadapi nantinya.”
***
Saat pagi menjelang, suara adzan
yang berkumandang membangunkan Banyu dari tidurnya. Dengan segera ia bangunkan
anak dan istrinya. Ia selalu membiasakan anak dan istrinya untuk disiplin
beribadah. Sesudah yakin mereka semua telah bangun pria itu pun pergi menuju
masjid yang ada di dekat rumah mertuanya. Tak lupa Kasih membangunkan sang ibu
untuk melakukan ibadah shalat bersama dengannya dan anak-anak di kamar.
Selesai sholat, tiba-tiba Kirana
bertanya, “Bun, tadi kok Eyang wudhunya berulang-ulang gitu? Udah gitu, Eyang
juga sempat lupa bacaan doanya. Kenapa bisa begitu, Bun?”
Kasih sempat bingung menjawab
pertanyaan anaknya itu. Matanya mengeliat, keningnya mengerut. Ia mencoba
mencari jawaban yang tepat bagi sang anak. Mungkin
ini saat yang tepat untuk membicarakan rencana kepindahan kami ke rumah ini,
pikir ibu muda itu.
“Begini, Eyang itu mengalami sakit.
Nama penyakitnya Alzheimer. Penyakit itu kebanyakan diderita oleh orang-orang
tua seperti Eyang Putri. Biasanya mereka itu sering lupa tentang banyak hal.
Tingkahnya juga jadi berubah-berubah. Kadang bisa baik, kadang marah-marah.
Bahkan bisa saja tingkahnya agak menjengkelkan.”
“Oh, begitu ya Bun. Pantas saja, Eyang
Putri suka berubah-berubah. Kadang Eyang baik sama aku. Terus, pernah juga
Eyang nanya aku ini siapa. Kayak nggak kenal
sama aku gitu, Bun. Kasihan ya, Eyang Putri. Mana sekarang Ayang Kakung
sudah nggak ada. Lalu Eyang Putri sama siapa dong?”
“Kita rencanya akan pindah ke rumah
Eyang ini. Ayah, Bunda, Kirana dan Dek Bagas yang akan menemani Eyang Putri.
Kirana setuju, nggak?” Jantung Kasih berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia
khawatir dengan jawaban anaknya yang menolak rencana kepindahan itu.
Tanpa diduga ekspresi berbeda
ditunjukkan oleh Kirana. Matanya tampak berbinar. Sebuah senyuman terlukis
indah di wajah cantiknya. Katanya, “Kirana setuju banget, Bun. Kirana senang
bisa tinggal bareng Eyang. Selama ini kan, kita jarang ke rumah Eyang. Kalau nggak
ada acara mana pernah kita ke sini. Lagian, kasihan Eyang kalau ditinggal
sendirian di rumah ini.”
“Kamu nggak keberatan dengan kondisi
penyakit Eyang? Sikap Eyang itu suka berubah-berubah, lho. Memang, Kirana nggak
takut?”
“Apa yang harus ditakutkan, Bu? Itu
kan, eyangnya Kirana.”
Jawaban dari Kirana seolah menampar
Kasih. Kepolosan gadis kecil berusia sepuluh tahun itu menyadarkan mata
batinnya. Ia harus mendukung keputusan yang diambil sang suami untuk merawat
ibundanya. Karena yang saat ini ibu butuhkan ialah kasih sayang dan ketulusan
dari anak, menantu dan cucunya.
*) Cerpen ini menjadi
salah satu nominasi Lomba Menulis tentang
Alzaimer pada tahun 2015