Rabu, 30 Desember 2015

Membangun Kemanusian di Indonesia Melalui PMI



Oleh: Susana Febryanty

            Semakin lama kepedulian sosial seolah menjadi barang langka di masyarakat kita. Penyelenggaraan bulan dana PMI adalah momen yang tepat bagi kita untuk mengingat kembali akan keberadaan sesama yang membutuhkan. Lalu, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu sesama?

            Sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia tak dapat terpisahkan dari keberadaan orang lain. Manusia membutuhkan orang lain sebagai penunjang dan pendukung dirinya untuk melakukan berbagai aktivitas. Itu sebabnya manusia berusaha untuk menjalin hubungan komunikasi dan kerjasama  yang baik dengan pihak-pihak lain.
            Namun perubahan zaman secara perlah-lahan merubah cara pandang manusia. Perkembangan teknologi yang begitu pesat seolah-olah membawa perubahan gaya hidup. Kecanggihan tekhnologi seakan memanjakan manusia dengan kemudahan. Menciptakan manusia-manusia baru yang lebih individualistis dan egois. Tak peduli lagi dengan keberadaan orang lain.

Lupa Diri

            Beberapa waktu yang lalu negeri ini sempat dihebohkan dengan berita tentang komentar negatif seorang pelajar di media sosial karena enggan memberikan kursinya pada seorang ibu hamil. Sebuah foto  yang  heboh di masyarakat datang dari Medan menggambarkan beberapa orang yang tengah asyik ber-selfie di antara puing-puing pesawat hercules yang baru saja jatuh di sana. Kedua peristiwa tersebut seolah menggambarkan ketidak pedulian masyarakat kita dengan keadaan sesamanya.
            Bagi Anda yang menggunakan kendaraan umum pastinya kerap menemui keadaan semacam ini bukan? Saling berebut tempat duduk seakan menjadi hal yang wajar.  Tak sedikit orang yang pura-pura tidur atau pura-pura tak melihat keberadaan lansia dan ibu hamil yang berdiri di sekitar mereka. Bahkan menolong orang yang kesulitan atau darurat di jalan raya  menjadi hal yang tabu di masyarakat kita. Seolah ketidak pedulian menjadi sebuah kewajaran dari kemajuan sebuah kota/bangsa. Maka, bukan sebuah hal yang aneh jika seseorang bisa saja kehilangan nyawanya kerena tak mendapatkan pertolongan dari orang lain.
            Seharusnya hal ini tidak terjadi di masyarakat kita. Anda tentunya masih ingat dengan pelajaran tentang prinsip gotong royong yang dahulu kerap di dengung-dengungkan oleh para guru kita bukan? Sungguh sangat disayangkan jika prinsip kebersamaan dalam bermasyarakat tesebut  secara perlahan menghilang dari kehidupan bangsa ini. Masyarakat kita seolah terlena dengan perkembangan zaman dan masuknya budaya luar. Kita seolah lupa dengan keaslian diri dan mulai bertingkah seperti bangsa barat. Mementingkan diri sendiri dan tak peduli dengan keadaan orang lain.

PMI
Gambar: http://pmikotabandung.org/files/agenda/20150709_122221_harianterbit_Logo_PMI.jpg

            Beruntunglah kita karena bangsa ini memiliki PMI. Mengapa demikian? Keberadaan PMI dimaksudkan untuk pengelolaan ketersediaan pasokan darah bagi yang membutuhkan, membantu korban bencana alam, serta membantu saat terjadi peperangan/konflik. Sehingga PMI menjadi solusi bagi masyarakat yang membutuhkan pertolongan ketika keadaan darurat.
            Bayangkan jika bangsa ini tak memiliki PMI, akan kemanakah kita mencari bantuan jika ada seseorang sahabat atau kerabat yang membutuhkan transfusi darah? Selain itu, bangsa ini berada di gugusan cincin api (ring of fire) yang memungkinkan terjadinya bencana alam. Tak dapat dipungkiri bahwa PMI adalah organisasi kemanusiaan terkemuka dalam penanganan korban bencana. Oleh sebab itu, rasanya tak salah jika keberadaan PMI perlu mendapatkan apresiasi yang baik dari segenap bangsa ini.
            Namun sayangnya muncul keraguan di benak masyarakat kita mengenai penggunaan dana organisasi PMI. Beberapa orang memerpertanyakan tentang penjualan tiket oleh sejumlah pengurus PMI di bandara dan stasiun. Mereka menganggap PMI adalah organisasi bentukan pemerintah, oleh sebab itu pastinya ia (PMI) mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. Hal tersebut memang tak salah, namun dana dari pemerintah itu hanya dapat menutupi sebagian dari kebutuhan PMI.
            PMI sebagai badan pengelola darah membutuhkan dana yang cukup besar untuk operasionalnya. Ana Udaningrum (dalam http://health.liputan6.com/read/2047108/intip-proses-pengolahan-darah-di-pmi-jakarta) dari PMI Provinsi DKI Jakarta menjelaskan bahwa darah diambil dari pendonor yang telah melakukan pemeriksaan dan pengecekan golongannya sehingga mempermudah pemisahan berdasarkan masing-masing golongan darah. Selanjutnya petugas akan memasukkan darah pada laboratorium komponen darah untuk kemudian dipisahkan  menjadi trombosit, sel darah merah, plasma, frozen plasma, serta anti hemofili. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus komponen-kompenan darah tertentu. Darah yang telah dipisahkan berdasarkan komponennya itu kemudian diberi label yang telah dilengkapi dengan barcode khusus. Selanjutnya darah akan di simpan dengan standar yang ketat sehingga mengurangi kemungkinan untuk rusak sebelum digunakan.
            Panjangnya proses pengelolaan darah tersebut yang kemudian menyebabkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh PMI. Selain itu berbagai peralatan yang digunakan untuk menunjang proses donor hingga penyimpanan darah tentunya juga membutuhkan dana. Maka tak heran jika kemudian pasien harus membayar sejumlah dana saat mendatangkan kantong darah. Hal tersebut dimaksudkan sebagai penggantian biaya pengelolaan darah tersebut. Tak hanya itu, saat terjadi bencana maupun konflik PMI juga harus membiayai sejumlah para medis yang akan diterjunkan untuk menolong masyarakat.
            Sudah sepantasnya kita sebagai anggota masyarakat merasa memiliki PMI dan mendukung mereka. Bagi yang memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang medis bisa bergabung menjadi  relawan. PMI juga memiliki wadah yaitu Palang Merah Remaja bagi kaum muda yang ingin membantu kegiatan PMI. Kita dapat pula memberikan dukungan pada PMI  dengan cara mengikuti acara donor darah yang diadakan di daerah masing-masing. Anda sibuk dan tak punya kesempatan mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan PMI? Tak perlu khawatir, Anda masih bisa berpartisipasi dalam Bulan Dana PMI dengan memberikan sejumlah dana melalui:
  • Bank BCA Kantor Cabang Utama Thamrin Nomo Rekening : 206-38-1794-5 atas nama PMI DKI JAKARTA Panitia Bulan Dana PMI Provinsi DKI Jakarta.
  • Bank MANDIRI Kantor Cabang Kramat Raya Nomor Rekening : 123-00-17091945 atas nama PMI DKI JAKARTA Panitia Bulan Dana PMI Provinsi DKI Jakarta.
  • Bank DKI Kantor Cabang Utama Juanda Nomor Rekening : 101-03-17094-7 atas nama PMI DKI JAKARTA Panitia Bulan Dana PMI Provinsi DKI Jakarta.
Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mendukung mereka. Jadi, Ayo peduli bantu sesama melalui PMI! Untuk informasi lebih lanjut klik http://pmidkijakarta.or.id/.


Rabu, 28 Oktober 2015

Bara, Sang Penakluk Jalanan



Oleh: Susana Febryanty

            Langit memancarkan sinar keemasan menyentuh lembut kulit para muda berseragam yang hendak berangkat ke sekolah. Sementara itu, di sebuah rumah yang bergaya klasik tampak seorang pemuda masih terlelap. Merdunya kicauan burung serta suara kendaraan yang mulai memenuhi jalanan seolah tak mampu menyadarkan Bara dari mimpinya.
            Tiba-tiba seorang perempuan berusia dua puluh tahunan masuk ke dalam kamar Bara. Dengan cepat tangan gadis itu bergerak membuka tirai jendela di depan ranjang. Sinar mentari segera memenuhi ruangan itu. Kehangatan sinar menembus mata sang pemuda. Matanya berkedip karena silau. Dengan segera ia membalikkan tubuh menjauhi sinar lalu meneruskan tidurnya.
            Tak mendapatkan tanggapan dari sang adik, gadis itu pun segera mendekati ranjang Bara. Dengan keras dia goncang-goncangkan tubuh pemuda itu sambil berkata, “Bara, ayo bangun…! Udah jam setengah tujuh ini, nanti kamu telat ke sekolah lho. Makanya jangan keluyuran terus, biar bisa bangun pagi.”
            “Apa, jam setengah tujuh?! Serius Mbak?” Mata Bara terbelalak mendengar perkataan sang kakak. Dengan segera ia bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.
            Tak lama kemudian, Sukma keluar kamar dan pergi ke ruang makan. Dia membuka tudung saji yang menutupi nasi goreng yang berada di atas meja. Tak lama kemudian datang Bara yang telah menggunakan seragam putih abu-abu. Gadis itu meletakkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur di hadapan adiknya. Bara segera menyantap hidangan nasi goreng kesukaannya.
            “Ngomong-ngomong, Ibu mana Mbak? Kok nggak kelihatan?” tanya Bara sambil memasukkan nasi goreng ke mulutnya.
            “Ya, kemana lagi. Kamu kan tahu jam segini Ibu sudah berangkat ke pasar. Makanya jangan sibuk sendiri kenapa sih. Sekali-kali kamu perhatikan orang rumah, jangan main aja pikirannya. Kamu pasti nggak tahu kan kalau semalam Bapak pulang ke rumah? Untung saja Bapak hanya sebentar. Kalau sampai Bapak menginap dan tahu kelakuan kamu yang suka keluyuran sama teman-teman geng motormu itu, Mbak nggak tahu deh apa yang akan terjadi.”
            “Memangnya ngapain dia datang?”
            “Kamu itu gimana sih Bara, dia itu kan suami ibu kita. Itu artinya dia Bapak kita.”
            Bara tersenyum sinis mendengar ucapan sang kakak. “Aku nggak akan lupa kalau dia itu Bapak kita. Yang jadi pertanyaannya, apa dia masih anggap kita sebagai keluarganya? Kalau memang kita ini masih keluarganya, kenapa dia lebih betah tinggal sama istri mudanya itu dan hanya datang ke rumah ini semaunya saja?” katanya dengan nada suara meninggi.
            “Ya, kita mau bilang apa. Bagaimana pun kelakuannya dia itu tetap orang tua kita, Bar.”
            Mendadak selera makan Bara menghilang. Ia mennghentikan makannnya dan meletakkan sendok begitu saja di atas piring. “Aku bukan Mbak Sukma yang pasrah dengan semua keputusan Bapak. Sampai kapan pun aku setuju dengan keputusan Bapak menduakan Ibu. Udah ah, mending aku berangkat aja. Pembicaraan soal Bapak hanya bikin aku emosi saja,” kata Bara sambil bangkit dan meninggalkan meja makan.
            Baru beberapa langkah Bara berjalan, tiba-tiba Santi memanggil, “Tunggu, Bar!”
            “Ada apa lagi, Mbak?”
            “Mbak mita tolong nanti sepulang sekolah kamu jemput Ibu di pasar ya. Soalnya nanti Mbak kuliah.”
            “Iya. Aku berangkat dulu, Mbak.” Bara mengambil sebuah kunci yang tergantung di dekat pintu depan lalu pergi ke garasi untuk menghidupkan motor bebek kesayangannya. Tak berapa lama Bara berangkat menuju sekolah dengan mengendarai motor tersebut.
***
            Sesampainya di gerbang sekolah, tampak beberapa orang siswa  mempercepat langkahnya memasuki lingkungan sekolah. Bara pun mempercepat laju motornya menuju parkir motor. Di sana ia melihat beberapa orang yang cukup dikenalnya, salah satunya adalah Gilang. Dengan segera ia parkirkan motornya di samping motor Gilang.
            “Widihhh…! Nggak salah lihat kan aku nih?! Tumben nih, Bara si jagoan jalanan bisa nyampe tepat waktu pagi ini.” Bibir Gilang tersenyum lebar seolah ingin memamerkan deretan kawat giginya.
            “Yo’i Bro, kebetulan pagi ini lagi ada kakakku tersayang di rumah. Makanya nih aku bisa datang tepat waktu. Ayo kita buruan ke kelas sebelum Mr. Poltak masuk. Kamu tahu sendiri kan bagaimana galaknya guru kita yang satu itu.” Kedua sahabat itu pun meninggalkan area parkir menuju ke arah kelas.
            Tanpa disadari seorang perempuan berusia tiga puluhan telah mengamati tingkah laku  mereka semenjak tadi. Saat Bara dan Gilang berjalan di koridor sekolah tiba-tiba perempuan itu mendekati keduanya. Sang perempuan itu pun berkata, “Bara, kamu ikut Ibu ke ruang kantor guru sekarang ya.”
            “Harus sekarang ya, Bu? Sebentar lagi kan waktunya masuk kelas, Bu. Apa tidak sebaiknya saya minta ijin dengan Pak Poltak dulu, Bu?” tanya Bara.
            “Sudah itu nanti biar Ibu yang sampaikan pada Pak Poltak. Lebih baik kamu titipkan tas kamu pada Gilang lalu ikut Ibu ke ruang guru.”
            Bara menuruti perintah sang guru. Ia memberikan tas ranselnya pada Gilang lalu membuntuti Bu Ima ke ruang guru. Meski begitu segudang pertanyaan tersimpan di pikirannya. Ada apa lagi ini? Kenapa tiba-tiba Bu Ima ingin bicara sama aku sepagi ini? Pasti ada masalah serius nih…! ucap pemuda itu dalam hatinya.
            Di depan ruang guru Bara melihat pemandangan yang berbeda. Seorang gadis berkulit putih sedang duduk di kursi yang berada di depan ruang kepala sekolah. Wow, cakep banget…! Siapa ya ini cewek? Kayaknya aku belum pernah lihat dia deh. Apa mungkin dia anak baru ya?
            “Adek ini sedang menunggu Bapak Kepala Sekolah ya? Sudah ketemu sama orangnya?” tanya Bu Ima ketika melihat gadis cantik itu.
            “Sudah, Bu. Ibu saya lagi bicara sama Pak Kepala Sekolah di dalam,” jawab sang gadis pelan.
            “Ya, sudah kalau begitu. Ibu tinggal dulu, ya.” uca p Bu Ima meninggalkan sang gadis sendirian menuju ruangan BP yang berseberangan dengan ruang kepsek.
            Dengan asyiknya Bara mengamati gadis cantik itu. Sampai-sampai ia tak menyadari kalau Bu Ima telah meninggalkannya. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang perempuan, “Ya ampun, Bara. Kok malah bengong di situ sih kamu. Ayo cepat ke sini…!”
            “Ehm, iya Bu.” Muka Bara tampak bersemu-semu merah. Perasaannya bercampur aduk antara kagum dan malu. Ia kagum mendapati keberadaan makhluk cantik itu. Di sisi lain, ia malu dimarahi oleh Bu Ima di hadapan gadis pujaannya itu. Bara mempercepat langkahnya menuju ruang BP. Belum kenalan saja sudah malu-maluin seperti ini.Semoga  peristiwa tadi nggak diingat sama cewek itu, harapnya dalam hati.
            Beberapa menit kemudian Bara kembali ke kelasnya. Tak lupa mengetuk ia mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam ruangan. “Maaf, Pak. Tadi saya dipanggil sama Bu Ima,” kata Bara memberi alasan.
            “Memang tadi Bu Ima  sempat bilang sama aku mengenai pemanggilanmu itu. Ya, sudah. Sana kau duduk ke tempatmu! ”
            Dengan segera Bara berjalan menuju kursinya yang berada di deretan belakang. Saat ia berjalan menuju kursinya ia mendapi sosok cantik yang sempat ditemuinya tadi di ruang guru. Yes…! Ternyata cewek cantik itu sekelas denganku. Itu artinya aku punya kesempatan buat mendekatinya. Tanpa sadar pemuda itu tersenyum-senyum sendiri sepanjang pelajaran.
***
            Saat istirahat, tiba-tiba Gilang menonjok lengan Bara yang tengah melamun sendirian di depan kelas. “Woiii…! Dari tadi senyum-senyum senyum sendiri aja nih, Jangan bilang kamu stres gara-gara dipanggil sama Bu Ima tadi. Ada masalah apa sampai Bu Ima panggil kamu ke kantornya?” tanya Gilang penasaran.
            “Ya, biasalah Lang aku ini murid kesayangan para guru di sekolah ini. Makanya semua tingkahku selalu di awasi mereka. Jadi Ima itu dapat laporan soal perilaku bolos yang aku lakukan. Dia juga dapat laporan soal keterlambatanku beberapa waktu terakhir ini.”           
            “Terus kamu diapain sama Bu Ima?”
            “Untungnya hanya diberi peringatan. Katanya kalau terjadi lagi orang tuaku mau dipanggil. ngomong-ngomong, itu cewek anak baru ya? Siapa namanya?”
            “Oh itu, dia itu pindahan dari Jakarta. Namanya Nita. Bentar deh, jangan bilang kamu senyum-senyum itu gara-gara dia.”
            “Wajar dong kalau aku naksir sama cewek cantik kayak dia. Kalau aku suka sama kamu, baru aneh. Karena kamu udah kasih info sama aku soal cewek itu, sekarang aku mau traktir kamu di kantin.” Kedua orang sahabat itu pergi ke kantin untuk beristriahat.
            Setibanya di kantin Bara dan Gilang langsung menempati sebuah meja yang berada tak jauh dari gerobak soto Bu Minah, langganan mereka. Tanpa basa-basi Gilang memesan dua mangkok soto  dan dua es teh bagi mereka berdua. Sementara itu mata Bara menjelajah ke seluruh area kantin, mencoba menemukan sebuah sosok yang sedang menguasai pikirannya. Namun ia harus kecewa. Karena tak menemukan sosok cantik bernama Nita di antara kerumunan siswa tersebut.
            Pikiran Bara jadi tak tenang memikirkan Nita. Semangkuk soto yang merupakan hidangan favoritnya seakan tak menarik lagi. Yang ingin dilakukannya ialah segera kembali ke kelas. Setelah menyantap setengah dari isi mangkok soto Bara segera membayar makanannya dan Gilang pada Bu Minah lalu kembali ke kelas. Gilang hanya terbengong saat sahabatnya itu pergi tanpa pamit.
            Bara berjalan menuju kelas. Saat langkahnya mendekati kelas ia terhenyak mendapati Nita duduk sendirian di mejanya. Mata gadis itu tak berkedip saat memandangi selembar kertas. Wajahnya tampak begitu sendu. Bara berjalan dengan sangat pelan mendekati pintu kelas. Ia tak ingin Nita terusik oleh kedatangannya.
             Pemuda itu terus mengawasi Nita dengan sangat. Bara tertegun melihat sebulir aliran bening yang menetes di pipi mulus nita.Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh keras pundaknya. “Woi..! Disini rupanya kamu, Bro! Pergi kok nggak bilang-bilang!” teriak Gilang mengejutkan Bara.
            Ternyata tak hanya Bara yang terkejut oleh suara teriakan Gilang.Teriakan itu seolah membangunkan Nita dari lamunannya. Gadis itu semakin terkejut mendapati keberadaan Bara yang mengawasinya sedari tadi. Dia kan cowok yang ketemu di ruang guru tadi pagi kan? Sejak kapan dia ada di situ? Apa dia tahu yang aku lakukan barusan? tanya Nita dalam hati. Dengan segera tangannya menghapus air mata yang mebasahi pipi.
            Mendapati perubahan sikap Nita, Bara jadi salah tingkah. Ia berusaha bersikap seolah tak ada masalah meski tetap saja tampak kikuk. Untunglah tak lama kemudian bel sekolah kembali berbunyi. Pemuda itu dengan segera mengajak Gilang masuk ke dalam ruang kelas.
             Saat berjalan menuju mejanya Bara mencoba melirik ke arah nita. Ia mendapati gadis itu memandangi foto seorang lelaki yang sebaya dengan ayahnya. Pikiran Bara diliputi oleh rasa penasaran. Siapa sebenarnya laki-laki dalam foto itu? Lalu, kenapa foto itu membuat Nita menangis? pikir Bara.
            Bara menyimpan sendiri rasa penasarannya. Saat ini ia tak ingin membaginya dengan siapa pun termasuk dengan Gilang. Meski begitu ia berusaha untuk menyisihkan sejenak rasa pemasarannya itu lalu kembali fokus pada pelajaran. Bel sekolah berbunyi sebagai tanda berakhirnya kegiatan belajar mengajar di sekolah itu. Semua siswa berhambuaran keluar kelas.
            Sasempainya di depan kelas, seorang siswa mendekati Bara dan menyampaikan pesan dari Bu Ima. Dengan segera Bara menemui sang guru BP di ruangannya. Di ruangan tersebut tampak beberapa orang siswa telah duduk menunggu mendengarkan Bu Ima. Bara pun bergabung dan duduk pada bangku kosong yang ada di situ. Rupanya kedatangan mereka di situ untuk membantu Bu Ima mensukseskan sebuah program baru yang dicanangkan oleh pihak sekolah. Tanpa terasa diskusi itu  telah berlangsung selama satu jam.
            Saat keluar dari ruang guru Bara pun teringat akan amanat kakaknya untuk menjemput sang ibu di pasar. Dengan segera ia langkahkan kaki menuju parkiran untuk mengambil motor. Ia mempercepat laju kendaraannya menuju Pasar yang berajarak sekitar 5 km dari sekolahnya. Dalam hitungan beberapa menit saja ia telah sampai di depan pasar.
            Tak lama kemudian Bara menuju toko kelontong milik sang ibu. Namun ia mendapati toko tersebut telah terkunci rapat. Ia mengambil ponsel dalam saku tas ranselnya lalu menghubungi nomer sang ibu. Handphone ibunya tak dapat dihubungi. Lalu ia bergegas pulang  ke rumah dengan motor.
            Sesampainya di area pemukimannya Bara  melihat sang ibu dari kejauhan. Ibunya sedang berdiri di depan rumah bersama seorang gadis berkulit putih. Ia mempercepat laju motornya agar segera sampai di depan rumah. Betapa terkejurtnya Bara mendapati gadis yang bersama dengan sang ibu adalah Nita. Namun belum sempat ia membuka mulutnya, gadis itu langsung berpamitan pada Ibu dan segera pergi.
            “Bara, ayo bantu Ibu bawa barang-baran ini ke dalam rumah…!” ujar Ibu pada Bara.
            “Ehm, iya Bu.” Dengan sigap diangkatnya dua kantong plastik bersar belanjaan milik sang ibu ke dalam rumah.
            Setelah membawa semua belanjaan ke dalam dapur, tak lupa Bara memasukkan motor bebeknya ke dalam garasi dan menutup pintu pagar rumah. “Tadi kok bisa Ibu sama si Nita?” tanya Bara saat duduk di meja makan.
            “Habis kamu nggak jemput Ibu di pasar. Untung saja Nita sama Eyang Puji lagi belanja ke pasar jadi Ibu bisa numpang mobil mereka. Sudah begitu Nak Nita baik mau bantu Ibu membawa belanjaan sebanyak itu. Nggak tahu deh bagaimana nasib Ibu tadi kalau nggak ada mereka tadi.”
            “Loh, memangnya Nita itu apanya Eyang Puji?” tanya Bara Peranasaran. 
            “Kamu gimana sih, Nak Nita itu kan cucunya Eyang Puji. Dulu waktu kecil kan kalian sering main  bareng. Kamu nggak lupa kan?”
            “Bukannya cucunya Eyang Puju namanya Reni ya? Lalu Nita itu cucunya Eyang dari anaknya yang mana, Bu?” tanya Bara tak jua mengerti.
            “Lah, namanya Nak Nita itu kan RenitaKusumawati.”
            “Lho, ngapain Si Nita pindah ke Semarang. Bukannya sekolah di Jakarta jauh lebih bagus ya?”
            “Memangnya kamu belum tahu ya, ayahnya Nita kan baru saja meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Itu sebabnya ibunya Nita memutuskan untuk pindah  ke Semarang. Makanya Ibu minta kamu berhentilah kebut-kebutan sama teman-teman geng motormu itu. Ibu nggak mau kamu kenapa-napa,” ucap Ibu pelan pada Bara. Tapi ia hanya terdiam tak menjawab permintaan sang Ibu.
***
            Setelah itu Bara berusaha mendekati Nita. Setiap pagi ia bangun cepat agar bisa mengajak gadis itu berangkat sekolah bersama dengan motornya. Namun Nita selalu menolak ajakan dari pemuda itu. Dia lebih memilih untuk jalan kaki daripada dibonceng Bara. Meski begitu Bara tak pernah menyerah. Ia berusaha dengan berbagai cara untuk mendekati Nita.
             Hingga suatu ketika Eyang Puji meminta tolong pada Bara untuk membantunya memperbaiki atap rumahnya yang bocor. Dengan segera ia menuju rumah Eyang Puji yang terletak di samping rumahnya. Ia dan keluarga Nita memang sudah seperti keluarga. Apalagi Eyang Puji dan mendiang eyangnya dahulu berteman baik. Eyang Puji memperlakukan Bara seperti cucunya sendiri.
            Dengan lincah kaki-kaki Bara menaiki tangga yang mengarah menuju atap. Sesampainya di atas ia menaiki atap secara perlahan. Diperiksanya posisi genteng-genteng tersebut kemudian dengan hati-hati ia memperbaikinya sat persatu. Setelah merampungkan pekerjaan Bara pun turun secara perlahan-lahan. Sesampainya di bawah ia mendapati Eyang Puji yang sedari tadi mengawasi dan memegang tangga yang digunakannya.
            “Gimana, Bar? Ada yang bocor?” tanya Eyang Puji saat Bara duduk di teras.
            “Kayaknya sih nggak ada Eyang. Hanya posisi gentengnya saja yang bergeser. Tadi sudah saya rapikan moga-moga nggak kebasahan lagi ya kalau hujan nanti.”
            “Syukurlah kalau begitu. Makasih ya Bara sudah mau bantuin Eyang memperbaiki atap.”
            “Iya,  sama-sama Eyang. Kalau begitu saya pulang dulu ya, Yang.”
            “Mau langsung kemana sih kamu. Udah istrahat dulu di sini Itu Nita sudah buatkan minum buat kamu. Mana minumannya, Nit?”
            Tak lama datang seorang gadis berkulit putih dari dalam rumah sambil membawa baki berisi segelas teh manis dingin. Lalu gelas tersebut diletakkannya di samping Bara. “Monggo diminum ya, Bara. Eyang mau ke dalam dulu. Biar Nita yang temani kamu ya,” kata Eyang Puji sambil mereka berduaan.
            “Nit…! Bar…!” kata mereka bersamaan. Keduanya tampak salah tingkah. Akhirnya Bara pun membuka mulutnya dan berkata, “Kamu aja duluan, Nit.”
            “Ehm, makasih ya sudah mau bantu keluargaku,” ucap Nita pelan
            “Oh, santai saja. Eyang Puji itu sudah kayak eyangku sendiri jadi nggak usah sungkan untuk minta tolong sama keluargaku. Ngomong-ngomong kenapa sih kamu kayaknya sebal sama aku dan selalu menolak tawaranku untuk pergi dan pulang sekolah bersama?”
            Nita menarik napas panjang. Dengan lirih dia berkata, “Aku nggak sebal sama kamu. Teman-teman bilang kalau kamu itu anggota geng motor. Dan aku benci sama geng motor. Gara-gara geng motor Papaku meninggal. Kebanyakan geng motor itu bertingkah seenaknya di jalan raya. Kalian kerap kebut-kebutan di jalan umum, tidak mau mematuhi peraturan berlalu lintas. Menggunakan motor tanpa helm, berboncengan lebih dari dua orang. Apa kalian tidak pernah memikirkan resikonya?”
            Bara terhenyak mendengar perkataan Nita. Semua perilakunya dalam bermotor seolah terpampang dengan jelas kini. Ia ingat betul bagaimana kelakuaannya saat bersama geng motor. Sering kali ia tak mempedulikan hak pengguna jalan yang lain. Berkebut-kebutan sesuka hati. Tak jarang ia menyisihkan helmnya saat berkedaraan. Ah, kenapa aku tak pernah memikirkan sejauh ini ya? Bisa saja perlaku kami menyebabkan korba yang takbersalah seperti papanya Nita, batin Bara berujar.
            “Aku tahu kamu sedih karena kehilangan papamu. Tapi, ijinkan aku bisa menjalin pertemanan lagi denganmu. Aku mau belajar untuk memperbaiki sikapku. Kamu mau kan memberikan kesempatan itu bagiku?” kata Bara sambil memegang lembut tangan Nita.
             “Aku mau berteman dengan kamu. Tapi aku minta, kamu harus belajar menjadi pengendara motor yang baik. Aku nggak mau temanku mengalami kejadian yang sama dengan papaku. Kalau kamu tidak bisa menjalankan itu, lebih bai kamu menjauhi aku sekarang juga. Aku nggak mau sedih untuk kedua kalinya,” kata Nita tegas.
            Bara pun tersenyum mendengar ucapan Nita. Ia mengangkat tangan kanannya dan membentuknya menjadi tanda victory. “Aku akan belajar menjadi lebih baik. Aku janji nggak akan mengecewakanmu apalagi membuatmu bersedih.”  Kedua remaja itu pun tertawa riang menyambut hari baru yang lebih baik.