Oleh: Susana Febryanty
Langit memancarkan sinar keemasan
menyentuh lembut kulit para muda berseragam yang hendak berangkat ke sekolah.
Sementara itu, di sebuah rumah yang bergaya klasik tampak seorang pemuda masih
terlelap. Merdunya kicauan burung serta suara kendaraan yang mulai memenuhi
jalanan seolah tak mampu menyadarkan Bara dari mimpinya.
Tiba-tiba seorang perempuan berusia
dua puluh tahunan masuk ke dalam kamar Bara. Dengan cepat tangan gadis itu
bergerak membuka tirai jendela di depan ranjang. Sinar mentari segera memenuhi
ruangan itu. Kehangatan sinar menembus mata sang pemuda. Matanya berkedip
karena silau. Dengan segera ia membalikkan tubuh menjauhi sinar lalu meneruskan
tidurnya.
Tak mendapatkan tanggapan dari sang
adik, gadis itu pun segera mendekati ranjang Bara. Dengan keras dia
goncang-goncangkan tubuh pemuda itu sambil berkata, “Bara, ayo bangun…! Udah
jam setengah tujuh ini, nanti kamu telat ke sekolah lho. Makanya jangan
keluyuran terus, biar bisa bangun pagi.”
“Apa, jam setengah tujuh?! Serius
Mbak?” Mata Bara terbelalak mendengar perkataan sang kakak. Dengan segera ia
bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.
Tak lama kemudian, Sukma keluar
kamar dan pergi ke ruang makan. Dia membuka tudung saji yang menutupi nasi
goreng yang berada di atas meja. Tak lama kemudian datang Bara yang telah
menggunakan seragam putih abu-abu. Gadis itu meletakkan sepiring nasi goreng
lengkap dengan telur di hadapan adiknya. Bara segera menyantap hidangan nasi
goreng kesukaannya.
“Ngomong-ngomong, Ibu mana Mbak? Kok
nggak kelihatan?” tanya Bara sambil memasukkan nasi goreng ke mulutnya.
“Ya, kemana lagi. Kamu kan tahu jam
segini Ibu sudah berangkat ke pasar. Makanya jangan sibuk sendiri kenapa sih.
Sekali-kali kamu perhatikan orang rumah, jangan main aja pikirannya. Kamu pasti
nggak tahu kan kalau semalam Bapak pulang ke rumah? Untung saja Bapak hanya
sebentar. Kalau sampai Bapak menginap dan tahu kelakuan kamu yang suka
keluyuran sama teman-teman geng motormu itu, Mbak nggak tahu deh apa yang akan
terjadi.”
“Memangnya ngapain dia datang?”
“Kamu itu gimana sih Bara, dia itu
kan suami ibu kita. Itu artinya dia Bapak kita.”
Bara tersenyum sinis mendengar
ucapan sang kakak. “Aku nggak akan lupa kalau dia itu Bapak kita. Yang jadi
pertanyaannya, apa dia masih anggap kita sebagai keluarganya? Kalau memang kita
ini masih keluarganya, kenapa dia lebih betah tinggal sama istri mudanya itu
dan hanya datang ke rumah ini semaunya saja?” katanya dengan nada suara
meninggi.
“Ya, kita mau bilang apa. Bagaimana
pun kelakuannya dia itu tetap orang tua kita, Bar.”
Mendadak selera makan Bara
menghilang. Ia mennghentikan makannnya dan meletakkan sendok begitu saja di
atas piring. “Aku bukan Mbak Sukma yang pasrah dengan semua keputusan Bapak.
Sampai kapan pun aku setuju dengan keputusan Bapak menduakan Ibu. Udah ah,
mending aku berangkat aja. Pembicaraan soal Bapak hanya bikin aku emosi saja,”
kata Bara sambil bangkit dan meninggalkan meja makan.
Baru beberapa langkah Bara berjalan,
tiba-tiba Santi memanggil, “Tunggu, Bar!”
“Ada apa lagi, Mbak?”
“Mbak mita tolong nanti sepulang
sekolah kamu jemput Ibu di pasar ya. Soalnya nanti Mbak kuliah.”
“Iya. Aku berangkat dulu, Mbak.”
Bara mengambil sebuah kunci yang tergantung di dekat pintu depan lalu pergi ke
garasi untuk menghidupkan motor bebek kesayangannya. Tak berapa lama Bara
berangkat menuju sekolah dengan mengendarai motor tersebut.
***
Sesampainya di gerbang sekolah,
tampak beberapa orang siswa mempercepat
langkahnya memasuki lingkungan sekolah. Bara pun mempercepat laju motornya
menuju parkir motor. Di sana ia melihat beberapa orang yang cukup dikenalnya,
salah satunya adalah Gilang. Dengan segera ia parkirkan motornya di samping
motor Gilang.
“Widihhh…! Nggak salah lihat kan aku
nih?! Tumben nih, Bara si jagoan jalanan bisa nyampe tepat waktu pagi ini.”
Bibir Gilang tersenyum lebar seolah ingin memamerkan deretan kawat giginya.
“Yo’i Bro, kebetulan pagi ini lagi
ada kakakku tersayang di rumah. Makanya nih aku bisa datang tepat waktu. Ayo
kita buruan ke kelas sebelum Mr. Poltak masuk. Kamu tahu sendiri kan bagaimana
galaknya guru kita yang satu itu.” Kedua sahabat itu pun meninggalkan area
parkir menuju ke arah kelas.
Tanpa disadari seorang perempuan
berusia tiga puluhan telah mengamati tingkah laku mereka semenjak tadi. Saat Bara dan Gilang
berjalan di koridor sekolah tiba-tiba perempuan itu mendekati keduanya. Sang
perempuan itu pun berkata, “Bara, kamu ikut Ibu ke ruang kantor guru sekarang
ya.”
“Harus sekarang ya, Bu? Sebentar lagi
kan waktunya masuk kelas, Bu. Apa tidak sebaiknya saya minta ijin dengan Pak
Poltak dulu, Bu?” tanya Bara.
“Sudah itu nanti biar Ibu yang
sampaikan pada Pak Poltak. Lebih baik kamu titipkan tas kamu pada Gilang lalu
ikut Ibu ke ruang guru.”
Bara menuruti perintah sang guru. Ia
memberikan tas ranselnya pada Gilang lalu membuntuti Bu Ima ke ruang guru.
Meski begitu segudang pertanyaan tersimpan di pikirannya. Ada apa lagi ini? Kenapa tiba-tiba Bu Ima ingin bicara sama aku sepagi
ini? Pasti ada masalah serius nih…! ucap pemuda itu dalam hatinya.
Di depan ruang guru Bara melihat
pemandangan yang berbeda. Seorang gadis berkulit putih sedang duduk di kursi
yang berada di depan ruang kepala sekolah. Wow,
cakep banget…! Siapa ya ini cewek? Kayaknya aku belum pernah lihat dia deh. Apa
mungkin dia anak baru ya?
“Adek ini sedang menunggu Bapak
Kepala Sekolah ya? Sudah ketemu sama orangnya?” tanya Bu Ima ketika melihat
gadis cantik itu.
“Sudah, Bu. Ibu saya lagi bicara
sama Pak Kepala Sekolah di dalam,” jawab sang gadis pelan.
“Ya, sudah kalau begitu. Ibu tinggal
dulu, ya.” uca p Bu Ima meninggalkan sang gadis sendirian menuju ruangan BP
yang berseberangan dengan ruang kepsek.
Dengan asyiknya Bara mengamati gadis
cantik itu. Sampai-sampai ia tak menyadari kalau Bu Ima telah meninggalkannya. Tiba-tiba
terdengar teriakan seorang perempuan, “Ya ampun, Bara. Kok malah bengong di
situ sih kamu. Ayo cepat ke sini…!”
“Ehm, iya Bu.” Muka Bara tampak
bersemu-semu merah. Perasaannya bercampur aduk antara kagum dan malu. Ia kagum
mendapati keberadaan makhluk cantik itu. Di sisi lain, ia malu dimarahi oleh Bu
Ima di hadapan gadis pujaannya itu. Bara mempercepat langkahnya menuju ruang
BP. Belum kenalan saja sudah malu-maluin
seperti ini.Semoga peristiwa tadi nggak
diingat sama cewek itu, harapnya dalam hati.
Beberapa menit kemudian Bara kembali
ke kelasnya. Tak lupa mengetuk ia mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam
ruangan. “Maaf, Pak. Tadi saya dipanggil sama Bu Ima,” kata Bara memberi
alasan.
“Memang tadi Bu Ima sempat bilang sama aku mengenai pemanggilanmu
itu. Ya, sudah. Sana kau duduk ke tempatmu! ”
Dengan segera Bara berjalan menuju
kursinya yang berada di deretan belakang. Saat ia berjalan menuju kursinya ia
mendapi sosok cantik yang sempat ditemuinya tadi di ruang guru. Yes…! Ternyata cewek cantik itu sekelas
denganku. Itu artinya aku punya kesempatan buat mendekatinya. Tanpa sadar
pemuda itu tersenyum-senyum sendiri sepanjang pelajaran.
***
Saat istirahat, tiba-tiba Gilang
menonjok lengan Bara yang tengah melamun sendirian di depan kelas. “Woiii…! Dari
tadi senyum-senyum senyum sendiri aja nih, Jangan bilang kamu stres gara-gara
dipanggil sama Bu Ima tadi. Ada masalah apa sampai Bu Ima panggil kamu ke
kantornya?” tanya Gilang penasaran.
“Ya, biasalah Lang aku ini murid
kesayangan para guru di sekolah ini. Makanya semua tingkahku selalu di awasi
mereka. Jadi Ima itu dapat laporan soal perilaku bolos yang aku lakukan. Dia
juga dapat laporan soal keterlambatanku beberapa waktu terakhir ini.”
“Terus kamu diapain sama Bu Ima?”
“Untungnya
hanya diberi peringatan. Katanya kalau terjadi lagi orang tuaku mau dipanggil.
ngomong-ngomong, itu cewek anak baru ya? Siapa namanya?”
“Oh itu, dia itu pindahan dari
Jakarta. Namanya Nita. Bentar deh, jangan bilang kamu senyum-senyum itu
gara-gara dia.”
“Wajar dong kalau aku naksir sama
cewek cantik kayak dia. Kalau aku suka sama kamu, baru aneh. Karena kamu udah
kasih info sama aku soal cewek itu, sekarang aku mau traktir kamu di kantin.”
Kedua orang sahabat itu pergi ke kantin untuk beristriahat.
Setibanya di kantin Bara dan Gilang
langsung menempati sebuah meja yang berada tak jauh dari gerobak soto Bu Minah,
langganan mereka. Tanpa basa-basi Gilang memesan dua mangkok soto dan dua es teh bagi mereka berdua. Sementara
itu mata Bara menjelajah ke seluruh area kantin, mencoba menemukan sebuah sosok
yang sedang menguasai pikirannya. Namun ia harus kecewa. Karena tak menemukan
sosok cantik bernama Nita di antara kerumunan siswa tersebut.
Pikiran Bara jadi tak tenang
memikirkan Nita. Semangkuk soto yang merupakan hidangan favoritnya seakan tak
menarik lagi. Yang ingin dilakukannya ialah segera kembali ke kelas. Setelah
menyantap setengah dari isi mangkok soto Bara segera membayar makanannya dan
Gilang pada Bu Minah lalu kembali ke kelas. Gilang hanya terbengong saat sahabatnya
itu pergi tanpa pamit.
Bara berjalan menuju kelas. Saat
langkahnya mendekati kelas ia terhenyak mendapati Nita duduk sendirian di
mejanya. Mata gadis itu tak berkedip saat memandangi selembar kertas. Wajahnya
tampak begitu sendu. Bara berjalan dengan sangat pelan mendekati pintu kelas.
Ia tak ingin Nita terusik oleh kedatangannya.
Pemuda itu terus mengawasi Nita dengan sangat.
Bara tertegun melihat sebulir aliran bening yang menetes di pipi mulus nita.Tiba-tiba
sebuah tangan menyentuh keras pundaknya. “Woi..! Disini rupanya kamu, Bro!
Pergi kok nggak bilang-bilang!” teriak Gilang mengejutkan Bara.
Ternyata tak hanya Bara yang
terkejut oleh suara teriakan Gilang.Teriakan itu seolah membangunkan Nita dari lamunannya.
Gadis itu semakin terkejut mendapati keberadaan Bara yang mengawasinya sedari
tadi. Dia kan cowok yang ketemu di ruang
guru tadi pagi kan? Sejak kapan dia ada di situ? Apa dia tahu yang aku lakukan
barusan? tanya Nita dalam hati. Dengan segera tangannya menghapus air mata
yang mebasahi pipi.
Mendapati perubahan sikap Nita, Bara
jadi salah tingkah. Ia berusaha bersikap seolah tak ada masalah meski tetap
saja tampak kikuk. Untunglah tak lama kemudian bel sekolah kembali berbunyi.
Pemuda itu dengan segera mengajak Gilang masuk ke dalam ruang kelas.
Saat berjalan menuju mejanya Bara mencoba
melirik ke arah nita. Ia mendapati gadis itu memandangi foto seorang lelaki
yang sebaya dengan ayahnya. Pikiran Bara diliputi oleh rasa penasaran. Siapa sebenarnya laki-laki dalam foto itu?
Lalu, kenapa foto itu membuat Nita menangis? pikir Bara.
Bara menyimpan sendiri rasa
penasarannya. Saat ini ia tak ingin membaginya dengan siapa pun termasuk dengan
Gilang. Meski begitu ia berusaha untuk menyisihkan sejenak rasa pemasarannya
itu lalu kembali fokus pada pelajaran. Bel sekolah berbunyi sebagai tanda
berakhirnya kegiatan belajar mengajar di sekolah itu. Semua siswa berhambuaran keluar
kelas.
Sasempainya di depan kelas, seorang
siswa mendekati Bara dan menyampaikan pesan dari Bu Ima. Dengan segera Bara
menemui sang guru BP di ruangannya. Di ruangan tersebut tampak beberapa orang
siswa telah duduk menunggu mendengarkan Bu Ima. Bara pun bergabung dan duduk
pada bangku kosong yang ada di situ. Rupanya kedatangan mereka di situ untuk
membantu Bu Ima mensukseskan sebuah program baru yang dicanangkan oleh pihak
sekolah. Tanpa terasa diskusi itu telah
berlangsung selama satu jam.
Saat keluar dari ruang guru Bara pun
teringat akan amanat kakaknya untuk menjemput sang ibu di pasar. Dengan segera
ia langkahkan kaki menuju parkiran untuk mengambil motor. Ia mempercepat laju
kendaraannya menuju Pasar yang berajarak sekitar 5 km dari sekolahnya. Dalam
hitungan beberapa menit saja ia telah sampai di depan pasar.
Tak lama kemudian Bara menuju toko
kelontong milik sang ibu. Namun ia mendapati toko tersebut telah terkunci
rapat. Ia mengambil ponsel dalam saku tas ranselnya lalu menghubungi nomer sang
ibu. Handphone ibunya tak dapat dihubungi. Lalu ia bergegas pulang ke rumah dengan motor.
Sesampainya di area pemukimannya
Bara melihat sang ibu dari kejauhan.
Ibunya sedang berdiri di depan rumah bersama seorang gadis berkulit putih. Ia
mempercepat laju motornya agar segera sampai di depan rumah. Betapa
terkejurtnya Bara mendapati gadis yang bersama dengan sang ibu adalah Nita.
Namun belum sempat ia membuka mulutnya, gadis itu langsung berpamitan pada Ibu
dan segera pergi.
“Bara, ayo bantu Ibu bawa
barang-baran ini ke dalam rumah…!” ujar Ibu pada Bara.
“Ehm, iya Bu.” Dengan sigap
diangkatnya dua kantong plastik bersar belanjaan milik sang ibu ke dalam rumah.
Setelah membawa semua belanjaan ke
dalam dapur, tak lupa Bara memasukkan motor bebeknya ke dalam garasi dan
menutup pintu pagar rumah. “Tadi kok bisa Ibu sama si Nita?” tanya Bara saat
duduk di meja makan.
“Habis kamu nggak jemput Ibu di
pasar. Untung saja Nita sama Eyang Puji lagi belanja ke pasar jadi Ibu bisa
numpang mobil mereka. Sudah begitu Nak Nita baik mau bantu Ibu membawa
belanjaan sebanyak itu. Nggak tahu deh bagaimana nasib Ibu tadi kalau nggak ada
mereka tadi.”
“Loh, memangnya Nita itu apanya
Eyang Puji?” tanya Bara Peranasaran.
“Kamu gimana sih, Nak Nita itu kan
cucunya Eyang Puji. Dulu waktu kecil kan kalian sering main bareng. Kamu nggak lupa kan?”
“Bukannya cucunya Eyang Puju namanya
Reni ya? Lalu Nita itu cucunya Eyang dari anaknya yang mana, Bu?” tanya Bara tak
jua mengerti.
“Lah, namanya Nak Nita itu kan
RenitaKusumawati.”
“Lho, ngapain Si Nita pindah ke Semarang.
Bukannya sekolah di Jakarta jauh lebih bagus ya?”
“Memangnya kamu belum tahu ya,
ayahnya Nita kan baru saja meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Itu
sebabnya ibunya Nita memutuskan untuk pindah
ke Semarang. Makanya Ibu minta kamu berhentilah kebut-kebutan sama
teman-teman geng motormu itu. Ibu nggak mau kamu kenapa-napa,” ucap Ibu pelan
pada Bara. Tapi ia hanya terdiam tak menjawab permintaan sang Ibu.
***
Setelah itu Bara berusaha mendekati
Nita. Setiap pagi ia bangun cepat agar bisa mengajak gadis itu berangkat
sekolah bersama dengan motornya. Namun Nita selalu menolak ajakan dari pemuda
itu. Dia lebih memilih untuk jalan kaki daripada dibonceng Bara. Meski begitu
Bara tak pernah menyerah. Ia berusaha dengan berbagai cara untuk mendekati
Nita.
Hingga suatu ketika Eyang Puji meminta tolong
pada Bara untuk membantunya memperbaiki atap rumahnya yang bocor. Dengan segera
ia menuju rumah Eyang Puji yang terletak di samping rumahnya. Ia dan keluarga
Nita memang sudah seperti keluarga. Apalagi Eyang Puji dan mendiang eyangnya
dahulu berteman baik. Eyang Puji memperlakukan Bara seperti cucunya sendiri.
Dengan lincah kaki-kaki Bara menaiki
tangga yang mengarah menuju atap. Sesampainya di atas ia menaiki atap secara
perlahan. Diperiksanya posisi genteng-genteng tersebut kemudian dengan
hati-hati ia memperbaikinya sat persatu. Setelah merampungkan pekerjaan Bara
pun turun secara perlahan-lahan. Sesampainya di bawah ia mendapati Eyang Puji
yang sedari tadi mengawasi dan memegang tangga yang digunakannya.
“Gimana, Bar? Ada yang bocor?” tanya
Eyang Puji saat Bara duduk di teras.
“Kayaknya sih nggak ada Eyang. Hanya
posisi gentengnya saja yang bergeser. Tadi sudah saya rapikan moga-moga nggak
kebasahan lagi ya kalau hujan nanti.”
“Syukurlah kalau begitu. Makasih ya
Bara sudah mau bantuin Eyang memperbaiki atap.”
“Iya, sama-sama Eyang. Kalau begitu saya pulang
dulu ya, Yang.”
“Mau langsung kemana sih kamu. Udah
istrahat dulu di sini Itu Nita sudah buatkan minum buat kamu. Mana minumannya,
Nit?”
Tak lama datang seorang gadis
berkulit putih dari dalam rumah sambil membawa baki berisi segelas teh manis
dingin. Lalu gelas tersebut diletakkannya di samping Bara. “Monggo diminum ya,
Bara. Eyang mau ke dalam dulu. Biar Nita yang temani kamu ya,” kata Eyang Puji
sambil mereka berduaan.
“Nit…! Bar…!” kata mereka bersamaan.
Keduanya tampak salah tingkah. Akhirnya Bara pun membuka mulutnya dan berkata,
“Kamu aja duluan, Nit.”
“Ehm, makasih ya sudah mau bantu
keluargaku,” ucap Nita pelan
“Oh, santai saja. Eyang Puji itu
sudah kayak eyangku sendiri jadi nggak usah sungkan untuk minta tolong sama
keluargaku. Ngomong-ngomong kenapa sih kamu kayaknya sebal sama aku dan selalu
menolak tawaranku untuk pergi dan pulang sekolah bersama?”
Nita menarik napas panjang. Dengan
lirih dia berkata, “Aku nggak sebal sama kamu. Teman-teman bilang kalau kamu
itu anggota geng motor. Dan aku benci sama geng motor. Gara-gara geng motor
Papaku meninggal. Kebanyakan geng motor itu bertingkah seenaknya di jalan raya.
Kalian kerap kebut-kebutan di jalan umum, tidak mau mematuhi peraturan berlalu
lintas. Menggunakan motor tanpa helm, berboncengan lebih dari dua orang. Apa
kalian tidak pernah memikirkan resikonya?”
Bara terhenyak mendengar perkataan
Nita. Semua perilakunya dalam bermotor seolah terpampang dengan jelas kini. Ia
ingat betul bagaimana kelakuaannya saat bersama geng motor. Sering kali ia tak
mempedulikan hak pengguna jalan yang lain. Berkebut-kebutan sesuka hati. Tak
jarang ia menyisihkan helmnya saat berkedaraan. Ah, kenapa aku tak pernah memikirkan sejauh ini ya? Bisa saja perlaku
kami menyebabkan korba yang takbersalah seperti papanya Nita, batin Bara
berujar.
“Aku
tahu kamu sedih karena kehilangan papamu. Tapi, ijinkan aku bisa menjalin
pertemanan lagi denganmu. Aku mau belajar untuk memperbaiki sikapku. Kamu mau
kan memberikan kesempatan itu bagiku?” kata Bara sambil memegang lembut tangan
Nita.
“Aku mau berteman dengan kamu. Tapi aku minta,
kamu harus belajar menjadi pengendara motor yang baik. Aku nggak mau temanku
mengalami kejadian yang sama dengan papaku. Kalau kamu tidak bisa menjalankan
itu, lebih bai kamu menjauhi aku sekarang juga. Aku nggak mau sedih untuk kedua
kalinya,” kata Nita tegas.
Bara pun tersenyum mendengar ucapan
Nita. Ia mengangkat tangan kanannya dan membentuknya menjadi tanda victory.
“Aku akan belajar menjadi lebih baik. Aku janji nggak akan mengecewakanmu
apalagi membuatmu bersedih.” Kedua
remaja itu pun tertawa riang menyambut hari baru yang lebih baik.