Ada
berbagai pertanyaan yang kerap muncul di benak kita saat menghadapi badai
kehidupan. Tak jarang pula kemudian kita melakukan aksi protes pada Sang Maha
Pecipta atas kesulitan yang kita hadapi. Padahal hal tersebut tak lantas
membuat persoalan kita selesai, bahkan semakin merusak jiwa kita.
Seorang teman pernah menulis status
Facebook demikian, “Kalau kita lagi susah mah setan aja ogah untuk nengok.” Saya
tergelitik saat membaca status teman tersebut. Dengan segera saya pun merespon
status tersebut dan memberikan komentar atas pernyataanya tersebut.
Tak ada yang salah memang dengan
pernyataan teman saya itu. Beberapa diantara kita bahkan mungkin pernah
mengalami kejadian semacam itu. Orang yang tengah bermasalah akan cenderung
dijauhi oleh teman atau bahkan saudara-saudaranya. Bahkan, malah orang ada yang justru tega mempersulit
keadaan orang yang tengah bermasalah lho. Lalu, kita harus bagaimana dong…?
Badai Mendera
Beberapa waktu belakangan ini saya
tengah intens berhubungan dengan seorang sahabat yang memiliki persoalan yang
(bagi saya) cukup pelik. Persoalannya tersebut cukup mengguncang hidupnya.
Bahkan karena permasalahan yang dialaminya tersebut harga diri dan konsep
dirinya sempat terporak-porandakan. Ia bercerita tentang teman dan saudara yang
seolah-olah membuangnya.
Meski tak persis sama, namun saya
pribadi pernah mengalami sakitnya terbuang dari saudara dan teman. Saat ayah
meninggal, saya merasakan sakitnya dicampakkan oleh keluarga besar. Saat itu
saya merasa bagaikan sampah yang tak bernilai. Ketidaktahuan saya pun mendorong
saya untuk melakukan aksi protes pada Tuhan dan enggan untuk melaksanakan
ibadah. Hingga satu titik saya menemukan bahwa semua aksi protes yang saya
lakukan tersebut hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Dan pada akhirnya saya
menyadari bahwa sesungguhnya hanya Tuhanlah satu-satunya sahabat terbaik dalam
kehidupan ini
Namun apakah kemudian kehidupan saya
berubah menjadi sempurna…? Jawabannya adalah tidak. Hingga detik ini saya masih
mengalami pergumulan demi pergumulan hidup. Bahkan masih ada harapan dan impian
saya yang belum bisa saya capai. Masih hangat di ingatan saya bagaimana
beratnya permasalahan demi permasalahan yang harus saya tanggung pada tahun
2018 yang lalu. Berbagai rencana yang sudah saya canangkan hancur berantakan
tak berbekas sama sekali.
Bagaimana perasaan saya saat
mengalami itu semua? Jawabnya ya tentu sakit. Sama seperti kebanyakan
perempuan, saya memilih untuk menangis di hadapan Sang Maha Cinta. Apa lantas
persoalan saya selelsai begitu saya mengucapkan AMIN? Tentu tidak, setidaknya
dengan berdoa saya bisa sedikit melegakan rasa sakit yang menghimpit dada ini.
Maksud Terindah
Sebagai manusia akal dan pikiran
kita memang sangat terbatas untuk menjangkau maksud Sang Ilahi atas kehidupan
kita. Namun percayalah bahwa semua yang terjadi di dunia ini bukan karena
kebetulan. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita pasti ada tujuannya.
Begitu pun dengan berbaai persoalan dan permasalahan yang kita alami.
Saya mengalami sendiri semuanya itu.
Saya ingat betul bagaimana sulitnya menyelesaikan skripsi seketika sesudah ayah
saya meninggal. Namun berdasarkan pengalaman tersebut kemudian saya bisa
berbagi dan menjadi pembimbing (mentor) bagi beberapa adik mahasiswa yang
terhambat kuliahnya karena berbagai persoalan. Apakah itu kebetulan…?
Jika peristiwa itu hanyalah
kebetulan, mengapa kejadiannya begitu pas dengan pengalaman yang pernah atau
sedang alami? Masih hangat di ingatan saya di suatu siang pada tahun 2016. Saat
itu saya sengaja ngongkrong di sebuah kawasan hotspot untuk kepentingan
pekerjaan. Entah mengapa saya memilih sebuah kursi kosong yang berhadapan
dengan seorang gadis berhijab.
Di saat saya sedang tenggelam dalam
pekerjaan, tiba-tiba perempuan di depan saya menunjukkan gelagat yang tak
wajar. Sambil berbicara dengan seseorang di ponselya, perlahan-lahan mata gadis
itu tampak berair. Bahkan perlahan-lahan wajahnya telah dipenuhi dengan air
mata. Seketika saya panik melihat pemandangan tersebut. Saya bisa saja
pura-pura tak melihat itu. Namun hati saya merasa tak tega, dengan segera saya
keluarkan sebungkus tissue di dalam tas ransel dan memberikannya pada Si Gadis.
Ia pun mengambil beberapa lembar tissue tersebut dan tersenyum pada saya sambil
mengucapkan, “Terima kasih, Mbak.”
Setelah berbagi tissue, kami sama
sekali tak melakukan perbincangan apa pun. Sejujurnya sebenarnya saya merasa
penasaran dengan permasalahan Si Gadis, tapi saya merasa tak punya hak untuk
memberikan pertanyaan apa pun padanya. Saat pergi, gadis itu sempat berpamitan
dan memberikan senyum simpul pada saya.
Peristiwa-peristiwa semacam itu
nyatanya sering saya temukan di antara keseharian. Ada ibu muda yang curhat
mengenai kondisi perekonimian keluarganya di perjalanan bus Blok M menuju
Pondok Labu, Jakarta. Pernah pula seorang ibu yang bercerita mengenai keadaan
anak dan keluarganya ketika saya berada di stasiun Jatinegara, Jakarta.
Kalau dipikir-pikir memang aneh
kenapa harus saya yang harus bertemu dengan mereka? Padahal hidup saya sendiri
juga tak sempurna dan masih bermasalah. Toh,
saya sendiri bukan seorang konselor yang kawakan yang pandai memberikan solusi
pada setiap persoalan.
Setelah sekian lama merenungkannya,
saya menemukan jawaban yang sekian lama saya cari. Bahwa ternyata semua yang
terjadi dalam hidup ini diizinkan Tuhan untuk terjadi semata-mata untuk
kebaikan kehidupan itu sendiri. Jika saya tidak pernah merasakan sulitnya
menyelesaikan tugas akhir kuliah bagaimana mungkin saya bisa mendukung adik-adik
yang memiliki permasalahan yang sama. Berbagai permasalahan yang membuat hati
saya hancur dulu perlahan-lahan
membentuk hati saya untuk menjadi lebih peka melihat keresahan yang terjadi di
sekitar.
Jadi persoalan hidup tak seharusnya
membuat kita hancur. Justru dengan datangnya permasalahan dalam hidup, kita
menjadikan momen untuk melakukan perubahan untuk menjadi pribadi yang lebih
baik lagi. Tak mudah memang untuk
melakukannya, tapi bukan berarti tak mungkin
kan?
Karena untuk berbagi dan memberikan
manfaat bagi sesama tak perlu menunggu
harus menunggu hidup kita sempurna tanpa masalah. Pertanyaannya ialah, “Apakah
kita mau mau menjadi pribadi yang bersinar di kegelapan atau malah justru ikut
tenggelam dalam kegelapan tersebut?” Semua jawabannya ada di tangan kita. (SF)