Jumat, 18 Januari 2019

Mengapa Harus Saya…?


Ada berbagai pertanyaan yang kerap muncul di benak kita saat menghadapi badai kehidupan. Tak jarang pula kemudian kita melakukan aksi protes pada Sang Maha Pecipta atas kesulitan yang kita hadapi. Padahal hal tersebut tak lantas membuat persoalan kita selesai, bahkan semakin merusak jiwa kita. 
            Seorang teman pernah menulis status Facebook demikian, “Kalau kita lagi susah mah setan aja ogah untuk nengok.” Saya tergelitik saat membaca status teman tersebut. Dengan segera saya pun merespon status tersebut dan memberikan komentar atas pernyataanya tersebut.
            Tak ada yang salah memang dengan pernyataan teman saya itu. Beberapa diantara kita bahkan mungkin pernah mengalami kejadian semacam itu. Orang yang tengah bermasalah akan cenderung dijauhi oleh teman atau bahkan saudara-saudaranya. Bahkan, malah  orang ada yang justru tega mempersulit keadaan orang yang tengah bermasalah lho.  Lalu, kita harus bagaimana dong…?

 
Foto dari: https://khazanah.republika.co.id/
Badai Mendera
            Beberapa waktu belakangan ini saya tengah intens berhubungan dengan seorang sahabat yang memiliki persoalan yang (bagi saya) cukup pelik. Persoalannya tersebut cukup mengguncang hidupnya. Bahkan karena permasalahan yang dialaminya tersebut harga diri dan konsep dirinya sempat terporak-porandakan. Ia bercerita tentang teman dan saudara yang seolah-olah membuangnya.
            Meski tak persis sama, namun saya pribadi pernah mengalami sakitnya terbuang dari saudara dan teman. Saat ayah meninggal, saya merasakan sakitnya dicampakkan oleh keluarga besar. Saat itu saya merasa bagaikan sampah yang tak bernilai. Ketidaktahuan saya pun mendorong saya untuk melakukan aksi protes pada Tuhan dan enggan untuk melaksanakan ibadah. Hingga satu titik saya menemukan bahwa semua aksi protes yang saya lakukan tersebut hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Dan pada akhirnya saya menyadari bahwa sesungguhnya hanya Tuhanlah satu-satunya sahabat terbaik dalam kehidupan ini
            Namun apakah kemudian kehidupan saya berubah menjadi sempurna…? Jawabannya adalah tidak. Hingga detik ini saya masih mengalami pergumulan demi pergumulan hidup. Bahkan masih ada harapan dan impian saya yang belum bisa saya capai. Masih hangat di ingatan saya bagaimana beratnya permasalahan demi permasalahan yang harus saya tanggung pada tahun 2018 yang lalu. Berbagai rencana yang sudah saya canangkan hancur berantakan tak berbekas sama sekali.
            Bagaimana perasaan saya saat mengalami itu semua? Jawabnya ya tentu sakit. Sama seperti kebanyakan perempuan, saya memilih untuk menangis di hadapan Sang Maha Cinta. Apa lantas persoalan saya selelsai begitu saya mengucapkan AMIN? Tentu tidak, setidaknya dengan berdoa saya bisa sedikit melegakan rasa sakit yang menghimpit dada ini.

Maksud Terindah
            Sebagai manusia akal dan pikiran kita memang sangat terbatas untuk menjangkau maksud Sang Ilahi atas kehidupan kita. Namun percayalah bahwa semua yang terjadi di dunia ini bukan karena kebetulan. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita pasti ada tujuannya. Begitu pun dengan berbaai persoalan dan permasalahan yang kita alami.
            Saya mengalami sendiri semuanya itu. Saya ingat betul bagaimana sulitnya menyelesaikan skripsi seketika sesudah ayah saya meninggal. Namun berdasarkan pengalaman tersebut kemudian saya bisa berbagi dan menjadi pembimbing (mentor) bagi beberapa adik mahasiswa yang terhambat kuliahnya karena berbagai persoalan. Apakah itu kebetulan…?
            Jika peristiwa itu hanyalah kebetulan, mengapa kejadiannya begitu pas dengan pengalaman yang pernah atau sedang alami? Masih hangat di ingatan saya di suatu siang pada tahun 2016. Saat itu saya sengaja ngongkrong di sebuah kawasan hotspot untuk kepentingan pekerjaan. Entah mengapa saya memilih sebuah kursi kosong yang berhadapan dengan seorang gadis berhijab.
            Di saat saya sedang tenggelam dalam pekerjaan, tiba-tiba perempuan di depan saya menunjukkan gelagat yang tak wajar. Sambil berbicara dengan seseorang di ponselya, perlahan-lahan mata gadis itu tampak berair. Bahkan perlahan-lahan wajahnya telah dipenuhi dengan air mata. Seketika saya panik melihat pemandangan tersebut. Saya bisa saja pura-pura tak melihat itu. Namun hati saya merasa tak tega, dengan segera saya keluarkan sebungkus tissue di dalam tas ransel dan memberikannya pada Si Gadis. Ia pun mengambil beberapa lembar tissue tersebut dan tersenyum pada saya sambil mengucapkan, “Terima kasih, Mbak.”
            Setelah berbagi tissue, kami sama sekali tak melakukan perbincangan apa pun. Sejujurnya sebenarnya saya merasa penasaran dengan permasalahan Si Gadis, tapi saya merasa tak punya hak untuk memberikan pertanyaan apa pun padanya. Saat pergi, gadis itu sempat berpamitan dan memberikan senyum simpul pada saya.
            Peristiwa-peristiwa semacam itu nyatanya sering saya temukan di antara keseharian. Ada ibu muda yang curhat mengenai kondisi perekonimian keluarganya di perjalanan bus Blok M menuju Pondok Labu, Jakarta. Pernah pula seorang ibu yang bercerita mengenai keadaan anak dan keluarganya ketika saya berada di stasiun Jatinegara, Jakarta.
            Kalau dipikir-pikir memang aneh kenapa harus saya yang harus bertemu dengan mereka? Padahal hidup saya sendiri juga tak sempurna dan masih bermasalah. Toh, saya sendiri bukan seorang konselor yang kawakan yang pandai memberikan solusi pada setiap persoalan.
            Setelah sekian lama merenungkannya, saya menemukan jawaban yang sekian lama saya cari. Bahwa ternyata semua yang terjadi dalam hidup ini diizinkan Tuhan untuk terjadi semata-mata untuk kebaikan kehidupan itu sendiri. Jika saya tidak pernah merasakan sulitnya menyelesaikan tugas akhir kuliah bagaimana mungkin saya bisa mendukung adik-adik yang memiliki permasalahan yang sama. Berbagai permasalahan yang membuat hati saya  hancur dulu perlahan-lahan membentuk hati saya untuk menjadi lebih peka melihat keresahan yang terjadi di sekitar.
            Jadi persoalan hidup tak seharusnya membuat kita hancur. Justru dengan datangnya permasalahan dalam hidup, kita menjadikan momen untuk melakukan perubahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.  Tak mudah memang untuk melakukannya, tapi bukan berarti tak mungkin kan?
            Karena untuk berbagi dan memberikan manfaat  bagi sesama tak perlu menunggu harus menunggu hidup kita sempurna tanpa masalah. Pertanyaannya ialah, “Apakah kita mau mau menjadi pribadi yang bersinar di kegelapan atau malah justru ikut tenggelam dalam kegelapan tersebut?” Semua jawabannya ada di tangan kita. (SF)

Rabu, 16 Januari 2019

Nutrisi Jiwa dalam Sepiring Lotek


Tak semua jenis makanan baik bagi kesehatan tubuh kita. Begitu pun dengan kehidupan, kita bisa saja bertemu dengan berbagai jenis dan rupa manusia, namun tak semua orang kemudian tetap tinggal dan memberi arti bagi hidup kita. Nyatanya, seorang penjual lotek memberikan sebuah pelajaran penting bagiku.
                           
            You are what you eat. Pepatah ini menggambarkan bahwa jenis makanan yang dipilih dapat menggambarkan kepribadian dan karakter seseorang. Apakah itu sepenuhnya benar adanya? Entahlah…! Tapi setidaknya, jika kita mengkonsumsi makanan yang sehat dan higienis, maka kesehatan tubuh kita akan lebih terjaga. Dan bila tubuh kita sehat, maka bisa dipastikan aktivitas kita pun dapat dilakukan dengan lebih bahagia bukan…?
            Saat berbicara mengenai makanan khas nusantara, yang terbayang pastinya kelezatannya. Bagi yang pandai memasak pasti akan lebih suka untuk meracik sendiri berbagai bumbu dan bahan pangan. Namun bagi yang tak terlalu pandai memasak yah, harus pasrah untuk membeli atau memesan makanan. Tapi siapa sangka proses memesan atau membeli makan adanya memberikan pengalaman yang berkesan bagi beberapa orang seperti saya. Seperti apakah itu…?



Lotek Jogja

            Lotek, sebuah makanan khas nusantara yang terbuat dari racikan bumbu kacang dan berbagai jenis sayuran menjadi salah satu makanan favorit masyarakat Jogja. Anda bisa menemukan warung makan yang menjajakan makanan ini di berbagai sudut Jogja. Rasanya hampir mirip dengan saudara sepupunya gado-gado, namun agak sedikit manis.
            Setelah tinggal di Jogja selera makan saya pun mulai menyesuaikan dengan jenis makanan setempat. Meski tak terlalu menyukai rasa manis, namun pada kenyataannya beberapa jenis makanan khas Jogja pun semakin terasa nikmat untuk saya santap saat ini. Salah satunya adalah lotek.
            Tak terhitung berbagai warung makan lotek yang telah saya coba. Namun beberapa bulan belakangan ini saya tertarik untuk mencoba untuk membeli seporsi lotek di salah sah satu warung lotek yang berada si kawasan Babarsari. Tampilan warung ini sebenarnya jauh dari mewah. Dengan berbekal sebuah meja sederhana Si Ibu meletakkan berbagai peralatan ‘berperang’nya, seperti cobek, rak kaca kecil untuk meletakkan sayuran, dan beberapa buah kursi plastik untuk pelanggannya.
            Meski tampilan warung ini sangat sederhana, namun tak demikian dengan rasanya. Lotek Mandiri yang ada di kawasan Babarsari ini rasanya berbeda dengan lotek kebanyakan yang cenderung sangat manis. Rasa pada lotek ini tak terlalu dominan dan berimbang dengan rasa asin dan pedasnya, sehingga tak membuat kita menjadi eneg saat menyantapnya.


Kemurahan Hati

            Selain rasa loteknya yang nikmat ada banyak hal yang menarik dari Ibu pedangang lotek ini. Siang itu, saat saya menyinggahi warung lotek tersebut, tampak beberapa orang siswa berseragam abu-abu yang menyantap makanan di sana. Wajar saja jika mereka ada di sana, lokasi warung itu terletek tak jauh dari sebuah SMU Negeri yang berada di kawasan Babarsari. Waktunya pun bertepatan dengan jam istirahat anak sekolah.
            Tak berapa lama, dua orang siswi SMU itu mendekati Si Ibu Penjual Lotek. Mereka pun menyebutkan jumlah lotek dan minuman yang mereka pesan sebelumnya. Kemudian Ibu itu pun menyebutkan jumlah yang harus mereka bayarkan. Para siswa SMU itu pun mulai menghitung uang mereka untuk membayar. Salah satu dari mereka bahkan merogoh kantong berkali-kali, seperti mencari uang untuk menggenapi jumlah yang di sebutkan sang Ibu.
            Kebingungan anak-anak SMU tersebut pun ditangkap oleh Si Ibu Pedangang Lotek. Ia segera mengambil uang dari anak-ak tersebut sambil berkata, “Sudah segini aja, nggak papa.” Para siswa itu pun tersenyum gembira. “Terima kasih, Bu” kata mereka sambil meninggalkan tempat itu.
            Sepeninggal para siswa SMU, Si Ibu kembali melanjutkan pekerjaannya meracik lotek. Sambil menggerus bumbu kacang Si Ibu pun berkata, “Itu tadi anak-anak SMA situ, Mbak. Tadi uangnya kurang makanya ta’ genapkan aja. Ibu itu sering ketemu yang kayak gitu, Mbak. Pernah ada anak yang tanya, harga loteknya berapa Bu? Ya Ibu jawab saja, duitmu adanya berapa. Ibu nggak tega kalau ada anak yang lapar tapi uangnya kurang, ya ta’ kasih saja. Ibu kan juga punya anak juga, kalau anakku kayak gitu lah piye…”
            Saya terkejut dengan penuturan sang Ibu. Sejujurnya saya kagum dengan sikap Ibu Penjual Lotek tersebut. Bagi sebagian orang, Si Ibu mungkin bukan termasuk orang terpandang dan kaya. Tutur katanya pun seperti orang yang berpendidikan. Meski demikian, ia mampu untuk berbagi kasih dengan orang sekitarnya. Meski pun hanya dengan beberapa rupiah dari nilai lotek yang dijualnya.
            Seharusnya kita yang memiliki banyak kelebihan, baik harta, ilmu pengetahuan maupun pengalaman dapat berlajar dari Si Ibu Penjual Lotek tersebut. Ia yang memiliki sedikit bahkan rela memberi bagi sesamanya. Lalu kita, apakah yang sudah kita berikan bagi kehidupan ini…? (SF)