Minggu, 14 Oktober 2018

Tak Ada yang Mustahil untuk Lakukan #AksiSehatCeria


Oleh: Susana Febryanty


Setiap orang pastinya ingin memiliki kualitas kesehatan yang prima. Namun pada praktiknya, pola hidup sehat tak mudah untuk dilakukan oleh banyak orang di kesehariannya. Apa saja yang menjadi penyebabnya? Lalu, bagaimana cara yang mudah agar kita dapat menerapkan pola hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari?

Menjelang akhir tahun biasanya kebanyakan orang beramai-ramai membuat daftar rencana dan resolusi untuk kehidupan di tahun yang akan datang. Pola hidup sehat adalah salah rencana yang manjadi bagian resolusi tersebut. Ada yang berencana untuk berolah raga secara rutin, ada pula yang yang berniat untuk melakukan diet demi menurunkan berat badannya. Namun resolusi tersebut dapat berjalan sesuai dengan rencana?

Sayangnya resolusi pola hidup sehat tersebut pada akhirnya menjadi sekedar wacana yang kemudian menjadi basi seiring dengan waktu yang berganti. Apakah hal ini yang juga Anda alami saat ini? Saya sendiri mengakui pesoalan yang sama juga saya alami. Namun semua itu mulai berubah sekitar setahun belakangan ini. Apa yang membuat saya mengubah gaya hidup saya untuk menjadi lebih sehat?

Proses pengambilan darah (koleksi pribadi)


Momentum Awal 

Semua berawal dari sebuah acara donor darah yang diadakan oleh sebuah gereja di Yogyakarta pada akhir tahun 2017 yang lalu. Sebenarnya saya niat untuk mendonorkan darah telah lama saya simpan. Namun niat tersebut tak kunjung untuk saya lakukan dikarenakan ketakutan saya akan jarum suntik. Namun entah mengapa, beberapa minggu sebelum penyelenggaraan acara tersebut tekad untuk mendonorkan darah pun semakin bulat. Hingga pada hari H saya pun memberanikan diri untuk memasuki tempat penyelenggaraan donor darah. 

Setelah melakukan berbagai pemeriksaan dan dinyatakan lolos untuk melakukan pengambilan darah, tiba-tiba saya mulai ragu untuk melakukannya karena rasa takut pada jarum. Untungnya ada seorang teman saya di sana, posisi tempat tidur kami yang bersebelahan memungkinkan saya menggenggam tangannya untuk mengurangi rasa takut. Dan, akhirnya proses pengambilan darah untuk pertama kali bisa saya lewati dengan lancar meski sebelumnya saya belum sempat sarapan.

Melakukan donor darah berdampak cukup positif terhadap kondisi tubuh saya. Ternyata memang ada banyak manfaat donor darah terhadap kesehatan organ-oran tubuh kita seperti jantung dan hati.  Badan terasa lebih ringan setelah melakukan donor darah. Namun sayangnya, kondisi tubuh prima yang saya rasakan itu membuat saya menjadi lalai untuk menjaga pola hidup. Saya melakukan olah raga sekenanya dan pola makan cukup berantakan untuk dikatakan sehat.

Hingga pada pertengan tahun 2018 saya kembali melakukan donor darah. Dengan percaya dirinya saya melewati setiap prosesnya. Setelah menyelesaikan pengambilan darah, saya pun keluar dari ruangan. Secara tiba-tiba badan saya  melemah, pandangan pun terasa berkunang-kunang seperti akan pingsan. Untunglah beberapa orang yang ada di sana segera memberikan bantuan sehingga kondisi tidak semakin fatal. 

Insiden tersebut kemudian memaksa saya untuk mulai mengevaluasi gaya hidup yang saya jalani selama ini. Saya ingat betul bahwa pada malam sebelum donor darah tersebut waktu tidur saya sangatlah kurang. Perlahan-lahan saya mulai mencoba untuk membenahi pola hidup saya yang merugikan kesehatan. 

Perjalanan di Gunung Bromo (koleksi pribadi)


Melampaui Batasan

Berniat  untuk berubah itu mudah dilakukan, namun tidak dengan demikian dengan melakukan perubahan itu sendiri. Hal itu pula yang saya rasakan ketika mencoba untuk mengubah pola hidup untuk menjadi lebih sehat. Butuh tekad yang besar untuk bisa melakukan perubahan gaya hidup. Bahkan tak jarang saya tergoda untuk kembali pada pola hidup yang lama. Hingga kini saya pun masih belajar untuk mengatur diri.

Proses perubahan pola hidup ini saya lakukan setahap demi setahap, dan beberapa proses perbaikan gaya hidup itu saya lakukan sebagai berikut:
  • Perbaikan Pola Makan 
Anda pastinya pernah mendengar istilah yang mengatakan, "You are what you eat." Pepatah itu menggambarkan bagaimana kepribadian seseorang akan sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsinya. Dari sana saya mulai mengevaluasi jenis makanan dan pola makan telah saya selama ini. 
Saya pun menyadari betapa berantakannya pola makan saya selama ini. Sering sekali saya mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung lemak seperti gorengan. Tak hanya itu pola makan saya tak teratur, bahkan beberapa kali saya melewatkan waktu-waktu untuk makan atau terlambat makan. Akibat dari pola makan yang berantakan tersebut kondisi lambung saya menjadi bermasalah. Alhasil saya jadi sulit untuk berkonsentrasi dalam beraktivitas. 

Secara perlahan-lahan saya mengubah pola makan, dimulai dari jenis makanan yang saya konsunsumsi. Saya mulai megurangi makanan yang berlemak tinggi dan mulai memperbanyak makanan yang berserat tinggi seperti buah-buahan serta mencukupi konsumsi air putih. Selain itu, saya berusaha untuk makan tepat waktu. Ketika perut mulai terasa lapar, sebisa mungkin saya akan segera makan. 
Perbaikan pola makan ini nyatanya berdampak baik pada kesehatan pencernaan saya. Lambung saya yang sebelumnya kerap bermasalah, kini tak pernah kumat lagi. Baju-baju yang sebelumnya terasa kesempitan, sekarang terasa lebih pas di tubuh saya.

  • Melakukan Olah Raga
Sejujurnya saya bukan termasuk orang yang gemar berolah raga, apalagi jika olah raga tersebut termasuk aktivitas yang sangat menguras tenaga. Namun, saya menyadari bahwa tanpa olah raga, hidup sehat akan sulit dicapai. Saya mulai mencari referensi jenis-jenis olah raga yang sifatnya ringan namun baik untuk kesehatan tubuh.

Dari riset kecil-kecilan tersebut, saya mulai melakukan beberapa jenis olah raga seperti senam, dan yoga. Jika sebelumnya saya hanya melakukan olah raga sekenanya atau seuka hati saja, maka sekarang saya mulai membuat target untuk melakukan olah raga minimal 15 menit, 3x seminggu. Sesibuk apa pun, saya akan berusaha untuk menepati target yang telah saya tetapkan itu.

Ternyata olah raga berefek positif bagi diri saya, karena membuat napas saya terasa lebih panjang dan lepas. Tidur terasa lebih pulas dan nyenyak setelah melakukan olah raga. Sehingga saya jauh lebih tenang dan tidak mudah stres dalam melakukan aktivitas keseharian .
  • Istirahat dan Tidur
Tubuh kita ini punya batasan untuk bekerja dan beraktivitas, dan bila dipaksakan  tentu bermasalah juga nantinyanya. Menyadari hal itu, saya pun belajar untuk mengatur waktu saya secara lebih baik. Saya mulai mengurangi kegiatan-kegiatan yang tak terlalu penting, dan memilih untuk beristirahat memulihkan tenaga yang telah terkuras oleh aktivitas pekerjaan.Sebisa mungkin waktu istirahat dan  tidur tercukupi minimal 6 jam sehari. Dengan kecukupan waktu istirahat, tubuh saya akan terasa lebih segar dan siap untuk melakukan berbagai aktivitas,

  • Pemulihan Psikologis

Setiap orang pastiya memiliki luka batin dan kepahitan yang disimpannya. Seringkali luka batin itu juga berpengaruh pada kesehatan tubuh seseorang. Hal itu juga yang saya alami selama ini. Luka batin dan kepahitan yang saya pendam nyatanya berefek pada kesehatan saya, terutama pada lambung saya. Berbagai perbaikan dan perubahan gaya hidup yang dilakukan tersebut rasanya akan gagal jika keadaan psikologis saya belum dibereskan.

Saya pun memutuskan untuk menjani sesi konseling dan meditasi untuk mengeluarkan sampah-sampah batin yang telah saya simpan sendiri. Saya belajar untuk berdamai dengan diri saya sendiri. Dengan demikian saya bisa mencintai diri saya dengan apa adanya. 

Beribadah dan mendekatkan diri pada Tuhan juga menjadi salah satu terapi yang baik untuk memulihkan jiwa yang terluka. Karena tak ada satu hal pun di dunia ini yang ada dibawah kendali kita, termasuk napas yang kita hidup saat ini. Memperbaiki kondisi psikologis dan kejiwaan nyatanya membuat hidup saya terasa lebih bermakna. Saya pun semakin bersemangat untuk melakukan pola hidup sehat agar saya bisa menjadi manusia yang lebih bermanfaat lagi bagi sesama.

Setelah memperbaiki pola hidup,  tepatnya pada bulan September 2018 saya pun memberanikan diri untuk kembali mendonorkan darah. Sejujurnya saya sempat khawati akan pingsan. Ternyata saya mendapatkan kenyataan yang berbeda, tubuh tidak lagi limbung setelah melakukan donor darah. Bahkan berbagai aktivitas  yang sebelumya tak terbayangkan untuk bisa dilakukan ternyata dapat saya lakukan. Salah satunya ialah aktivitas mendaki gunung.

Mengubah gaya hidup atau melakukan #aksisehatceria sebenarnya bukan persoalan bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak maunya Anda. Tidak ada yang mustahil untuk dilakukan termasuk mengubah pola hidup untuk menjadi lebih sehat. Karena hanya dengan tubuh yang sehat segala kemustahilan dapat kita lampaui. Jadi, tunggu apa lagi...? Yuk, kita lakukan pola hidup sehat...!



Jumat, 12 Oktober 2018

Kasih untuk Ibu


Oleh: Susana Febryanty

            Hidup bagaikan sebuah petualangan yang penuh dengan misteri yang tak terduga. Tiada satu pun yang dapat menduga kejutan-kejutan apa yang ia peroleh. Ada kalanya bahagia itu menghampiri. Namun bisa saja kesedihan itu muncul tanpa diundang.

            Tak ada yang dapat menduga surat takdir kehidupan. Begitupun dengan keluarga besar Kasih. Beberapa hari yang lalu, mereka baru saja mengadakan acara kumpul-kumpul keluarga. Canda tawa menghiasi acara waktu itu. Tapi hari ini kecerian tak tampak lagi, yang ada hanyalah kemuraman yang menghiasi wajah-wajah itu.
            Suara sirene ambulan mengaung dengan keras, membawa rombongan keluarga yang sedang berduka memasuki halaman  sebuah rumah. Tak lama kemudian beberapa orang keluar dari mobil. Rumah besar bergaya Joglo itu tampak ramai oleh orang-orang yang berkumpul di sana. Saat keranda dikeluarkan dari ambulan beberapa orang laki-laki nampak sibuk mengurus jenazah tersebut. Sementara yang lain langsung menghampiri rombongan yang baru saja tiba.
            Kasih, dan kedua anaknya saling berangkulan memasuki rumah. Selama beberapa menit ia menerima ucapan belasungkawa dari tetangga dan kerabatnya. Setelah itu ia pergi  ke sebuah kamar yang terletak tak jauh dari ruang tamu rumah itu. Ia dorong sedikit pintunya. Di kamar itu tampak seorang perempuan tua berusia senja yang duduk di ranjang empuknya. Pandangan matanya tampak kosong.
             Perempuan berambut panjang itu mengetuk pelan pintu kamar lalu tanpa menunggu aba-aba ia pun masuk ke dalam. “ Bu, ” panggilnya. Langsung saja ia menduduki pinggiran ranjang sang ibu. 
            “Oalah, kamu tho. Kapan kamu pulang dari Semarang? Piye kuliahmu, Nduk?”
            Ternyata saat ini di pikiran Ibu aku masih berkuliah. Yang penting Ibu masih ingat kalau aku ini anaknya. Kasih mengambil tangan kanan ibunya lalu menciumnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan tangis. Ia tak mau membebani pikiran ibunya dengan kesedihan yang terjadi.
            Ia paksakan diri untuk tersenyum pada sang ibu sambil berkata, “Ibu sudah makan?”
            “Makan? Tadi ibu makan sama bapak. Tapi sekarang ibu pengen makan bareng kamu. Sejak kamu kuliah di Semarang kita nggak pernah makan bareng lagi.”
            Kasih memandang iba pada sang ibu. Kembali ia menghela napasnya. Pasti ingatan Ibu terganggu lagi. Bagaimana mungkin Ibu makan dengan Bapak, sementara sejak pagi bapak sudah di rumah sakit kerena serangan jantung. Ibu juga masih mengira kalau aku masih kuliah di Semarang. Kasihan sekali ibuku. Entah apa yang dipikirkannya jika ia mengetahui tentang meninggalnya Bapak.
            “Ya, sudah. Kasih ambilkan makanan buat Ibu dulu, ya. Biar kita  bisa makan dan ngobrol-ngobrol lagi,” katanya pada sang ibu. Ibu menganggukkan kepala beberapa kali.
            Ia bangkit  dari tempat tidur lalu berjalan beberapa meter dari  ranjang kayu itu. Kasih mengelus lembut rambut kedua anaknya yang tengah duduk di kursi kayu yang ada di depan pintu kamar. Kemudian ia berkata, “Kalian di sini saja. Jaga Eyang Putrinya ya, Sayang.” Perempuan itu  memang sengaja menjauhkan bocah-bocah tersebut dari neneknya. Ia khawatir sang nenek tak mengenali cucunya dan mulai bertanya mengenai mereka.
            “Iya, Bunda,” jawab kedua bocah itu serempak. Kasih tersenyum pada mereka. Ia bangga dengan anak-anaknya yang sangat pengertian akan kondisi orang tuanya.
            Saat Kasih keluar, beberapa orang telah menunggunya di luar kamar. Mereka adalah Bowo dan Wangi, kedua kakaknya. Di situ ada pula Banyu suaminya. Wajah ketiganya tampak begitu serius. Sepertinya ada hal serius yang ingin mereka bicarakan dengan perempuan itu.
            “Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Mas Bowo sambil mengintip ke dalam kamar.”
           “Ya, begitulah Mas. Pikiran Ibu mulai menurun. Tadi saja aku dikira masih kuliah di Semarang. Mana Ibu bilangnya tadi makan bareng Bapak. Padahal kan, dari pagi Bapak sudah dibawa ke rumah sakit.”
            “Gimana ini Mas? Masa Ibu dibawa ke pemakaman? Nanti malah kenapa-kenapa lagi,” tanya Wangi mendesak Bowo.
            Sesaat mereka pun terdiam. Kemudian Bowo berkata, “Begini saja,  Kasih kamu dan Ibu tinggal di rumah saja, nggak usah ikut pemakaman. Aku khawatir sama keadaan Ibu. Takutnya malah terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan.”
            “Apa nggak sebaiknya Ibu ikut ke pemakaman, Mas? Biar bagaimanapun Ibu itu kan istrinya Bapak. Pastinya beliau ingin melepaskan suaminya untuk terakhir kalinya.”
            “Aku paham maksudmu. Tapi dengan kondisi Ibu yang seperti ini rasanya nggak mungkin Ibu dibawa ke pemakaman. Coba bayangkan bagaimana kalau nanti tiba-tiba histeris di sana. Mana di sana tempatnya nggak nyaman. Malah nanti bikin kondisi Ibu makin ngedrop.”
            “Ya, sudah kalau memang seperti itu keputusannya.” Kasih pasrah dengan semua keputusan kakak-kakaknya itu. Toh, suaranya tak berarti di rumah ini. Ia hanya dianggap anak bawang bagi mereka.
***
            Mentari bersiap memasuki peraduannya kala keluarga itu kembali dari pemakaman. Kasih tersentak saat melihat sang suami sudah berdiri di samping ranjang Ibu. Sedari tadi pikirannya melayang entah kemana. Sementara sang ibu sedang tidur nyenyak bak bayi. Banyu tersenyum hangat pada istri yang dikasihinya itu.
            “Gimana keadaan Ibu?”
            “Seperti kamu lihat, Ibu tidur nyenyak setelah makan tadi.”
            Banyu menyandarkan punggungnya di diding kamar. Matanya menatap ke arah sang ibu mertua. Lalu sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya. “Apa Ibu sudah sadar kalau Bapak sudah nggak ada?”
            “Sepertinya belum, Mas. Malah tadi Ibu bilang kalau Bapak lagi ke kampus untuk mengajar. Entahlah Mas, bagaimana nasib Ibu setelah kepergian Bapak? Apa mungkin kedua kakakku mau mengurus Ibu dengan kondisi ia menderita Alzheimer? Kok, rasanya aku sangsi ya.”
            “Ya, sudah. Nggak usah kita pikirkan. Nanti juga kita tahu bagaimana keputusan mereka. Kita kan cuma bisa menunggu.”
***
            Malam harinya, para tamu mulai meninggalkan rumah keluarga besar Kasih. Bowo mengumpulkan para adik dan iparnya diruang keluarga. Seluruh anggota keluarga, kecuali sang ibu berkumpul di sana. Sebelumnya anak sulung itu memastikan terlebih dulu bahwa sang ibu telah nyenyak dalam tidurnya.
            Bowo memandangi ke seluruh anggota keluarganya sambil menghitung dalam hati. Ia kembali memastikan dengan bertanya, “Sudah lengkap semua kan?” Anggukan kepala Wangi menjadi jawaban yang diinginkan oleh pria itu.
            “Jadi begini, saya mengumpulkan kita semua untuk mendiskusikan masalah nasib Ibu selanjutnya. Seperti yang kita ketahui sekitar setahun yang lalu Ibu divonis menderita Alzheimer oleh dokter. Dengan meninggalnya Bapak, kita harus memikirkan bagaimana nasib Ibu selanjutnya. Kita kan tahu saat Ibu butuh perhatian ekstra. Beliau tidak mungkin ditinggalkan sendirian di rumah ini, ya walaupun memang ada beberapa orang pembantu di sini. Jadi bagaimana pendapat kalian?”
            Untuk beberapa saat semua tampak diam merenungkan pembicaraan Bowo barusan. Hingga tiba-tiba Wangi bersuara, “Kalau aku, jujur saja rasanya nggak mungkin mengurus Ibu. Ya, kalian semua kan tahu aku dan suamiku tinggal bersama mertua. Kami masih harus mengurus kedua mertuaku. Jadi kalau ditambah dengan Ibu, hmm… Rasanya kami nggak sanggup deh.”
            “Bagaimana ini, Mah?” bisik Bowo pada istrinya yang duduk di sampingnya.
            “Kita juga nggak mungkin merawat Ibu. Papa kan baru dipromosikan jadi direktur. Pastinya Papa sibuk terus sama kantor. Aku juga kan kerja, Pah. Jadi Ibu bisa-bisa nggak keurus kalau beliau tinggal bersama kita. Atau Ibu kita masukkan saja ke Panti Jompo. Di sana kan ada banyak suster dan dokter yang bisa merawat dan memperhatikan Ibu dengan baik.”
            Banyu tampak kanget dengan usulan dari istri Bowo barusan. Pria itu keberatan jika mertuanya dimasukkan di dalam Panti Jompo. Kenapa Ibu harus dimasukkan ke dalam Panti Jompo? Padahal beliau masih memiliki anak dan menantu. Tega sekali Iparku ini mengusulkan itu. Apa dia tahu rasa sakit saat dibuang oleh keluarga sendiri? Ya, Tuhan jangan biarkan hal ini menimpa Ibu mertuaku. Cukup aku saja yang merasakan sakitnya terbuang di Panti Asuhan dulu.
            Lalu Bowo mengarahkan pandangannya pada adik bungsunya. Ia bertanya, “Bagaimana dengan kamu, Sih? Sepertinya kamu yang paling bisa merawat Ibu. Kamu bukan orang yang sangat sibuk. Selama ini kan, kesibukan kamu hanya mengurus keluargamu dan membantu Bapak  di pabrik batik milik Ibu. Lagi pula, rasanya pantaslah kalau kamu yang mengurus Ibu saat ini. Hitung-hitung menebus kesalahan kamu pada Ibu di masa lalu.”
            Kasih menatap tajam ke arah kakak tertuanya itu. Ia menggigit keras bibirnya, mencoba menahan kata yang ingin terucap. Matanya mulai tampak berkaca-kaca. Sekuat tenaga ia berusaha menahan tangisnya. Meski batinnya merintih dengan keras.
            Apa maksud Mas Bowo mengungkit kisah masa lalu kami? Kenapa ia masih saja tak bisa menghargai Mas Banyu sebagai suamiku? Bapak saja dari dulu merestui pernikahan kami. Memang dulu Ibu tak menyetujui pernikahan kami, tapi toh kami bisa membuktikan niat baik kami dengan pernikahan ini. Buktinya, lama-lama Ibu juga bisa menerima Mas Banyu sebagai menantunya. Tapi kenapa sekarang Mas Bowo malah mengungkit masala itu lagi?
            Kasih pun bangkit dari duduknya dan segera berdiri. Dengan suara bergetar ia berkata, “Semua keputusan saya serahkan sama Mas Banyu. Saat ini dia adalah imam saya. Apa pun yang dia putuskan akan saya ikuti. Saya mau lihat Ibu dulu di kamar. Permisi.” Perempuan itu pun meninggalkan ruangan keluarga dan bergegas menuju kamar sang ibu.
            “Jadi bagaimana, Banyu?”
            “Saya tidak keberatan jika memang kami harus merawat Ibu.” Suara Banyu terdengar pelan namun tegas. Sepertinya ia telah mantab dengan keputusannya.
            “Bagus kalau begitu. Sebaiknya kalian segera pindah ke rumah ini. Lebih cepat lebih baik. Biar ada yang mengurus Ibu. Untuk biaya perawatan Ibu, nggak usah khawatir. Nanti aku dan Wangi yang akan urunan. Dengan gajimu sebagai guru mana mungkin kalian bisa menanggung biaya perawatan Ibu. Kamu bisa menanggung anak istrimu saja sudah bagus.”
            Banyu hanya  bisa terdiam mendengar perkataan kakak iparnya itu.
Gambar dari: https://hellosehat.com/


***
            Pertemuan keluarga berakhir, Banyu langsung menemui anak istrinya yang tidur di kamar sang mertua. Sang ibu mertua tampak pulas di ranjang kayu. Sedangkan anak-anaknya tidur di kasur yang digelar di lantai tepat  di samping ranjang itu. Kasih masih terjaga. Ia mengawasi tidur malaikat kecilnya itu. Sang suami mendekati istrinya.
            “Pertemuannya sudah selesai tho, Mas? Gimana keputusannya?” Wajah Kasih menyiratkan rasa penasaran yang sangat besar.
            “Ibu, kita yang merawat.”
            “Aku nggak keberatan, Mas. Yang aku pikirkan, bagaimana dengan anak-anak? Apa mereka bisa memahami keadaan eyang putrinya. Mas kan tahu bagaimana kondisi Ibu. Ibu itu kena Alzheimer. Ingatannya mengalami penurunan. Kadang beliau ingat, kadang malah kayak orang bingung. Sudah begitu, kondisi emosinya juga naik turun. Apa anak-anak mampu menerima keadaan eyangnya?”
            Banyu tersenyum pada sang istri. Ia mencoba menenangkan perasaan Kasih. Istrinya itu ia rangkul lalu lembut bahunya  dibelai lembut. Katatanya, “Tenang saja, Bun. Kita punya anak-anak yang pandai. Aku percaya mereka akan mengerti dengan situasi yang kita hadapi nantinya.”
***
            Saat pagi menjelang, suara adzan yang berkumandang membangunkan Banyu dari tidurnya. Dengan segera ia bangunkan anak dan istrinya. Ia selalu membiasakan anak dan istrinya untuk disiplin beribadah. Sesudah yakin mereka semua telah bangun pria itu pun pergi menuju masjid yang ada di dekat rumah mertuanya. Tak lupa Kasih membangunkan sang ibu untuk melakukan ibadah shalat bersama dengannya dan anak-anak di kamar.
            Selesai sholat, tiba-tiba Kirana bertanya, “Bun, tadi kok Eyang wudhunya berulang-ulang gitu? Udah gitu, Eyang juga sempat lupa bacaan doanya. Kenapa bisa begitu, Bun?”
            Kasih sempat bingung menjawab pertanyaan anaknya itu. Matanya mengeliat, keningnya mengerut. Ia mencoba mencari jawaban yang tepat bagi sang anak. Mungkin ini saat yang tepat untuk membicarakan rencana kepindahan kami ke rumah ini, pikir ibu muda itu.
            “Begini, Eyang itu mengalami sakit. Nama penyakitnya Alzheimer. Penyakit itu kebanyakan diderita oleh orang-orang tua seperti Eyang Putri. Biasanya mereka itu sering lupa tentang banyak hal. Tingkahnya juga jadi berubah-berubah. Kadang bisa baik, kadang marah-marah. Bahkan bisa saja tingkahnya agak menjengkelkan.”
            “Oh, begitu ya Bun. Pantas saja, Eyang Putri suka berubah-berubah. Kadang Eyang baik sama aku. Terus, pernah juga Eyang nanya aku ini siapa. Kayak nggak kenal  sama aku gitu, Bun. Kasihan ya, Eyang Putri. Mana sekarang Ayang Kakung sudah nggak ada. Lalu Eyang Putri sama siapa dong?”
            “Kita rencanya akan pindah ke rumah Eyang ini. Ayah, Bunda, Kirana dan Dek Bagas yang akan menemani Eyang Putri. Kirana setuju, nggak?” Jantung Kasih berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia khawatir dengan jawaban anaknya yang menolak rencana kepindahan itu.
            Tanpa diduga ekspresi berbeda ditunjukkan oleh Kirana. Matanya tampak berbinar. Sebuah senyuman terlukis indah di wajah cantiknya. Katanya, “Kirana setuju banget, Bun. Kirana senang bisa tinggal bareng Eyang. Selama ini kan, kita jarang ke rumah Eyang. Kalau nggak ada acara mana pernah kita ke sini. Lagian, kasihan Eyang kalau ditinggal sendirian di rumah ini.”
            “Kamu nggak keberatan dengan kondisi penyakit Eyang? Sikap Eyang itu suka berubah-berubah, lho.  Memang, Kirana nggak takut?”
            “Apa yang harus ditakutkan, Bu? Itu kan, eyangnya Kirana.”
            Jawaban dari Kirana seolah menampar Kasih. Kepolosan gadis kecil berusia sepuluh tahun itu menyadarkan mata batinnya. Ia harus mendukung keputusan yang diambil sang suami untuk merawat ibundanya. Karena yang saat ini ibu butuhkan ialah kasih sayang dan ketulusan dari anak, menantu dan cucunya.

*) Cerpen ini menjadi salah satu nominasi Lomba Menulis tentang Alzaimer pada tahun 2015